• Danau Sentarum

    Danau Sentarum merupakan danau yang dikelilingi hutan basah yang berada tepat dijantung belantara hutan Kalimantan dan merupakan danau terbesar di Kalimantan...

  • Hutan Hujan

    Hutan hujan adalah salah satu karakteristik beberapa bagian hutan di belantara Kalimantan yang beriklim tropis dan sub tropis...

  • Iklim tropis dan sub tropis

    Sebagian besar wilayah Kalimantan memiliki dua iklim yaitu iklim tropis dan sub tropis yang membuat wilayah Kalimantan memiliki rata-rata curah hujan dari sedang hingga tinggi...

  • Kultur Budaya

    Kalimantan memiliki kultur budaya yang sangat unik salah satunya kultur dan budaya yang berasal dari suku dan etnis Dayak yang memiliki Populasi terbesar yang tersebar di seluruh daerah di Kalimantan...

  • Flora dan Fauna

    Kalimantan memiliki berbagai macam jenis flora dan fauna mulai dari tumbuhan liar, hewan endemik hingga primata khas Kalimantan yang berjumlah ribuan spesies...

Saturday, March 31, 2018

SIMBOL ASAL MUASAL LELUHUR DAYAK PANGKODANT



Suku Dayak Pangkodant di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, tersebar di beberapa kampung yaitu Desa Lape, Dusun Berancet, Dusun Keladau, Embaong, Sei. Mawang, Rantau, Sanjan, Nyandang dan Tokang. Di wilayah kampung Rantau masih terdapat Tembawang Durian milik bersama yang merupakan warisan nenek moyang suku Pangkodant. Di wilayah kampung Rantau ini telah berdiri rumah Betang yang lokasinya di Dorik Mpulor. Rumah Betang ini sebagai tempat untuk mempertemukan semua suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat, khususnya yang ada di Kabupaten Sanggau dalam suatu acara yang disebut Gawai Dayak, atau yang dalam istilah Dayak Pangkodant disebut Gawai Nosu Minu Podi yang memiliki makna Pesta Padi. Menurut penuturan Pemangku Adat Pangkodant, bahwa nenek moyang mereka berasal dari suku Dayak Jangkang, yang merupakan suku dari anak-anak kedua hasil pernikahan Babay Cinga’ dan Dara Nante. Anak kedua Babay Cinga’ dan Dara Nante bernama Patee Gumantar yang selanjutnya melahirkan suku Dayak Jangkang, dan selanjutnya seiring perkembangan zaman terjadi pemisahan akibat perpindahan penduduk dalam mencari kehidupan dan nafkah sehingga lahirlah suku Dayak Pangkodant. Adapun Leluhur awal suku Dayak Pangkodant ini dikisahkan dalam simbol yang terpahatkan pada sebuah batu pedagi yang hingga kini masih disimpan dan dituturkan turun temurun yaitu bahwa Leluhur awal mereka berasal dari Dunia Bengkung, dengan nama Negerinya yaitu Lintan. Leluhur Awal ini berciri memiliki mata satu dan berwarna merah, serta dapat terbang secepat kilat kesana kemari. Leluhur selanjutnya yang masih dikenali oleh suku Dayak Pangkodant bergelar Nek Gansa. Dari perjalanan awal Leluhur yang awal dari negeri Lintan singgah di Bumi. Selanjutnya Leluhur yang awal pergi ke negeri Gerugut di Dunia Danum. Leluhur yang awal ini berhasil menaklukkan negeri Gerugut dan membangun peradaban di negeri tersebut. Kemudian Leluhur yang awal pergi ke negeri Sidi, dan membangun dua peradaban di negeri tersebut. Sebelum kembali ke negeri awalnya di Lintan, Leluhur yang awal membangun dua dermaga pada dua masa, dimana dermaga tersebut sebagai jembatan mereka menuju ke Gerbang Bunga Terong. Gerbang Bunga Terong merupakan gerbang berbentuk lorong panjang untuk pergi ke langit kedua hingga langit ketujuh, termasuk gerbang menuju keluar dimensi langit ketujuh. Gerbang Bunga Terong tersebut terletak di dekat matahari, dan terdapat dinding megah yang melindungi Gerbang Bunga Terong tersebut dari sengatan matahari sehingga Gerbang ini tidak hancur oleh panasnya matahari. Gerbang Bunga Terong ini selanjutnya diabadikan pada Tatto anak keturunan mereka di Bumi, dan menjadi simbol Tatto suci turun temurun. Kemudian pulang kembalilah Leluhur yang awal di negeri Lintan, dan selama perjalanan mereka menggunakan benda yang dikatakan seperti buah Catur. Setelah kembali lagi ke negeri Lintan, Leluhur yang awal pergi lagi ke Bumi dan mereka menikah dengan manusia-manusia di Bumi. Manusia-manusia di Bumi ketika menemukan Leluhur yang awal berada dalam sebuah benda bercahaya berbentuk padi yang sangat besar dan kulitnya keras seperti batu dan besi. Benda bercahaya seperti padi tersebut jatuh di wilayah Batu Bergantung, yang kemudian menjadi asal muasal Leluhur di Bumi. Setelah menikah dengan manusia-manusia di Bumi, Leluhur yang awal membangun jalur terpisah yang hanya dapat dilewati oleh Leluhur dari Lintan menuju ke Bumi serta anak keturunan mereka. Adapun warisan berharga dari Leluhur-Leluhur yang awal yaitu kemampuan mengukir dan membuat sesuatu, termasuk salah satunya dapat melunakkan besi. Salah satu warisan berharga pada Leluhur dari Nek Gansa yaitu seperangkat pakaian perang besi dan pakaian dari rajutan rantai besi dengan penutup kepalanya seperti helem besar yang melebar ujungnya menutupi bahu, pada ujung atas helem tersebut terdapat tanduk besi yang melengkung. Pakaian perang besi ini merupakan warisan turun temurun dari Leluhur-Leluhur Nek Gansa pada masa dahulunya. Pakaian perang besi ini kemudian dipergunakan oleh keturunan Nek Gansa yang bernama Lawan atau bergelar Singa Jaga Kota ketika menjaga Kerajaan Sanggau dari serangan musuh yang akan memasuki wilayah Kerajaan Sanggau. Selanjutnya Lawan atau Singa Jaga Kota mempergunakan pakaian perang besi ketika bergabung dalam Angkatan Perang Majang Desa. Lawan atau Singa Jaga Kota dengan pakaian perang besinya bersama Angkatan Perang Majang Desa kemudian memasuki Pontianak dan berhasil membebaskan Pontianak dari penguasaan tentara Jepang.
Lawan atau Singa Jaga Kota lahir tahun 1865 dan wafat pada tanggal 13 Desember 1977. Lawan atau Singa Jaga Kota ini memiliki kaki yang panjang, sehingga jika beliau duduk menjongkok maka lutut kakinya tersebut berada melewati atas kepala beliau.

Monday, March 19, 2018

sejarah kerajaan Lawai dalam peradaban suku dayak



sorotborneo

Setelah beberapa bulan menetap di Kampung Kantu’, Babay Cinga’ dan Putri Dara Nante bersama rombongannya kemudian pergi ke Labai Lawai, karena Putri Dara Nante sangat rindu ingin mengunjungi makam Ibundanya di Labai Lawai. Usai mereka berpamitan dengan Dakdudak, mereka langsung pergi ke Labai Lawai menggunakan beberapa buah dedaup dengan menyusuri Sungai Kapuas. Setelah beberapa hari mendayung dedaup, maka tibalah rombongan Babay Cinga’ di Labai Lawai. Di Labai lawai Dedaup-dedaup mereka tidak bisa langsung merapat, karena pada masa tersebut di Labai Lawai ternyata telah ditempati oleh sekelompok masyarakat setelah sekian lama ditinggalkan oleh rombongan Aji Melayu untuk melanjutkan pencarian Kerajaan Tanjung Pura. Mereka mendapat serangan dari masyarakat tersebut yang menyerang mereka dengan sumpit yang sangat membahayakan. Dengan cekatan rombongan Babay Cinga’ segera bertindak. Mereka menyusun strategi agar bisa turun ke daratan. Strategi tersebut berhasil. Babay Cinga’ dan beberapa orang termasuk Manok Sabong berhasil naik ke daratan. Perang sengit antara rombongan Babay Cinga’ dan masyarakat Labai Lawai terjadi. Setelah beberapa saat terjadi pertempuran yang sengit, masyarakat Labai Lawai ini akhirnya dapat mereka taklukkan. Masyarakat Labai Lawai ada yang menyingkir dari Labai Lawai, namun ada pula yang tunduk kepada Babay Cinga’, mereka kemudian bergabung dengan rombongan Babay Cinga’. Setelah situasi dapat mereka kendalikan, semua dedaup rombongan Babay Cinga’ dapat merapat dan mereka turun ke daratan. Dara Nante dan Babay Cinga’ langsung mengunjungi makam Ibunda Dara Nante. Sesuai permintaan Dara Nante, maka rombongan Babay Cinga’ menetap beberapa waktu di Labai Lawai. Mereka membangun pemukiman baru, namun ada juga yang menempati pemukiman milik masyarakat Labai Lawai. Belum lama rombongan Babay Cinga’ bermukim di Labai Lawai, kembali mereka diserang oleh kelompok masyarakat dari wilayah lain. Rupanya beberapa orang yang telah menyingkir dari Labai Lawai, mengumpulkan kelompok masyarakat dari wilayah lain untuk kembali merebut wilayah Labai Lawai dari rombongan Babay Cinga’. Mereka datang dengan jumlah yang lebih banyak dan pertempuran sengit kembali terjadi. Gajah Gemala Johari atau Arya Mada, anak Babay Cinga’ dan Dara Nante juga ikut berperang mempertahankan wilayah Labai Lawai. Bahkan Dara Nante yang pada masa itu sedang mengasuh Arya Batang atau Patee Gumantar juga ikut dalam pertempuran. Arya Batang pada peristiwa tersebut masih bayi, dan diamankan oleh Dara Nante dalam sebuah Jarai atau keranjang yang terbuat dari anyaman tumbuhan. Sambil memanggul Arya Batang di punggungnya, Dara Nante turun ke medan pertempuran membantu suaminya Babay Cinga’ dan pengikutnya mempertahankan Labai Lawai dari serangan musuh. Dengan senjata terhunus, Dara Nante bertempur dengan gesit dan mengalahkan musuh yang menyerang Labai Lawai. Jarai dipunggungnya yang berisi Arya Batang tidak menghambat ketangkasan geraknya dalam bertempur. Bahkan musuh yang menyerangnya dengan sumpit juga dengan lincah dihindarinya. Setelah terjadi pertempuran yang sengit, kelompok musuh yang menyerang akhirnya berhasil ditaklukkan. Namun Babay Cinga’ dan pengikutnya sangat terkejut karena ternyata jarai yang sedang dipanggul Dara Nante telah dipenuhi oleh peluru sumpit. Mereka menjadi histeris dan khawatir jika peluru-peluru sumpit yang beracun itu melukai Arya Batang yang berada di dalam jarai yang di panggul Dara Nante, dengan cepat mereka melepaskan jarai dari tubuh Dara Nante dan membukanya. Ketika membuka dan melihat ke dalam jarai, mereka menjadi sangat kaget dan terheran-heran, karena Arya Batang baik-baik saja. Peluru-peluru sumpit beracun yang terlihat menembus jarai, sedikitpun tidak melukai tubuh Arya Batang. Bahkan terlihat Arya Batang sedang bermain-main dengan mata peluru-peluru sumpit yang telah patah sambil tertawa-tawa. Peluru-peluru sumpit yang beracun itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap tubuh Arya Batang. Setelah melihat Arya Batang baik-baik saja, Babay cinga’ dan Dara Nante serta pengikutnya menjadi lega. Selama menetap di Labai Lawai, beberapa kali pengikut Babay cinga’ mendapatkan serangan dari kelompok masyarakat yang berasal dari wilayah lain. Bahkan beberapa kali juga kelompok perompak berusaha mengusir mereka dari Labai Lawai. Rupanya pada masa tersebut perairan di sekitar wilayah Labai Lawai telah ramai dilewati orang, dan kelompok perompak banyak yang berkeliaran di wilayah perairan itu untuk mencari mangsa, namun semua gangguan dan ancaman tersebut dapat mereka atasi dan taklukkan. Kehebatan Babay Cinga’ beserta pengikutnya ternyata mulai tersebar di sekitar wilayah perairan Labai Lawai, bahkan hingga ke pedalaman. Gangguan perompak yang sangat meresahkan masyarakat pedalaman memaksa mereka untuk mencari tempat perlindungan. Mereka pun berbondong-bondong pergi ke Labai Lawai untuk memohon perlindungan. Melihat begitu banyaknya kelompok masyarakat pedalaman yang datang untuk memohon perlindungan dan ingin bergabung sebagai pengikut, membuat Babay Cinga’ dan Dara Nante berfikir kembali jika hendak meninggalkan Labai Lawai. Selain itu datang juga masyarakat yang ternyata mengenali Babay Cinga’ sebagai Raja Nan Sarunai. Maka diputuskanlah bahwa mereka akan tetap tinggal di Labai Lawai dan akan membangun sebuah Negeri di tempat tersebut. Pada tahun 1325 Masehi, berdirilah Kerajaan Lawai dengan Babay Cinga’ sebagai rajanya yang kemudian bergelar Patee Bacinga’. Selanjutnya Patee Bacinga’ dibantu Dara Nante beserta para pengikutnya membentuk sistim pemerintahan kerajaan yang mirip dengan sistim pemerintahan di Nan Sarunai. Namun dalam sistim pemerintahan Kerajaan Lawai ini dimulai dengan nama penguasa kerajaan yang disebut Raja yang bergelar Patee. Dibawah Patee, terdapat penguasa wilayah yang bergelar Demung atau Demong dan Kiyai. Demung bertanggungjawab terhadap wilayah daratan, dan Kiyai bertanggungjawab terhadap wilayah perairan. Demung dan Kiyai membawahi Tamanggung atau Temenggung, Kanduran dan Rangga. Dalam sistim pertahanan dan keamanan yang bertanggung jawab terhadap pasukan dan prajurit kerajaan, jabatan tertinggi bergelar Cinga’ atau Singa, dan membawahi jabatan Ria, Macan dan Jaga. Anak Patee Bacinga’ yang bernama Gajah Gemala Johari atau Arya Jamban, namun dipanggil Patee Bacinga’ dengan nama Mada atau Arya Mada pada saat itu bertugas dalam jabatan Jaga, sehingga ia mendapat gelar Jaga Mada. Sedangkan pada bidang pengadilan adat dan agama, jabatan tertinggi bergelar Mangku dan membawahi beberapa jabatan yaitu Ngabeh atau Ngabehi ataupun Mas Ngabehi dan Dambung. Setelah terbentuknya sistim pemerintahan kerajaan, maka Kerajaan Lawai mulai mengembangkan diri untuk membangun Labai Lawai menjadi bandar atau pelabuhan perdagangan. Labai Lawai selanjutnya ramai dikunjungi orang dan menjadi sebuah bandar perdagangan yang sangat terkenal.

Saturday, March 17, 2018

cerita asal muasal AMJI ATTAK



Amji Attak berasal dari kampung Kapayakng, sekitar 20 km dari pasar Anjungan, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Amji Attak merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Amji Attak memulai kariernya dari Sekolah Agen tahun 1958, yang pada saat itu sudah masuk Mobrig Ranger atau Mobil Brigade Ranger. Mobrig dahulunya hanya memiliki Kompi 5994, yang memiliki makna tahun 59 dengan jumlah kesatuan 94, dan Amji Attak adalah anggota Kompi 5994 tersebut. Amji Attak adalah seorang Putra Dayak berdarah panas, yang tidak boleh melihat musuh pasti akan dikejar dan di tantangnya. Karena darah panasnya ini sehingga ia sering diturunkan ke wilayah konflik dan menjadi yang terdepan sebagai tameng pasukannya. Ketika di wilayah konflik dan terjadi baku tembak dengan musuh, ketika pasukannya yang lain sibuk bersembunyi dan berlindung, Amji Attak bukannya berlindung, ia malah mengejar arah tembakan tersebut sambil balik menembakkan senjatanya ke arah musuh, sehingga membuat musuh kocar kacir dan lari tunggang langgang. Seringkali dalam setiap bertugas, Komandannya ini menjadi kerepotan mengendalikan keberaniannya yang sangat nekad itu, karena ia tidak boleh mendengar tembakan musuh, tetap akan dikejarnya arah tembakan musuhnya tersebut, meskipun telah diperintahkan oleh Komandannya untuk berlindung. Pernah juga ketika ia mengejar musuh yang sedang gencar memberondong pasukannya, dan ia mengejar sambil balik memuntahkan peluru dari senjatanya dan peluru tersebut habis, Amji Attak bukannya berlindung, malah tetap terus mengejar dan ketika telah terlihat musuh yang memberondong tersebut langsung diserangnya dengan apa saja yang dimilikinya sehingga musuh tersebut tewas. Karena keberaniannya yang luar biasa tersebut menghantarkan pasukannya berhasil menguasai wilayah konflik. Sehingga setiap bertugas di wilayah konflik, Amji Attak selalu menjadi andalan pasukannya. Ketika terjadi Konfrontasi dengan Malaysia yang dikenal dengan “Ganyang Malaysia”, pada era pemerintahan Presiden Soekarno, pasukan Mobrig Ranger diturunkan dalam tugas tersebut. Pasukan Mobrig Ranger diturunkan dalam beberapa gelombang. Pasukan Mobrig Ranger gelombang pertama pada saat itu terdiri dari 129 orang berlayar ke Natuna. Pasukan Mobrig Ranger gelombang pertama ini diberangkatkan oleh Panglima ABRI Jenderal Ahmad Yani dari Pulau Berakit, yang sekarang namanya menjadi Batam. Ketika itu Jenderal Ahmad Yani berpesan, jika bertemu tentara dengan bekas cacar air memanjang di lengan, itu tandanya ia orang Indonesia.
Selanjutnya pada November 1964, pasukan Mobrig Ranger berlayar dari Tanjung Pinang menuju Malaysia. Dan dua perahu pasukan Mobrig Ranger berhasil masuk daratan Malaysia, namun di hutan Malaysia mereka ditangkap Patroli Inggris di Port Sehan. Kesemua anggota pasukan Mobrig Ranger yang tertangkap tersebut kemudian disidangkan di Pengadilan Kuala Lumpur, dan dimasukkan ke penjara di Johor selama 2 tahun 8 bulan.
Adapun pasukan Mobrig Ranger Amji Attak adalah Resimen Pelopor yang menyusup diam-diam ke Malaysia pada Maret 1965. Dengan tujuh perahu sekoci, mereka berangkat lewat Belakang Padang di Batam. Saat sudah dekat daratan di peisisir Malaysia, mereka mendayung. Amji Attak yang pada masa itu berpangkat Aipda dan memiliki nama sandi Muhammad ditugaskan sebagai pemimpin pasukannnya, karena ia paling diandalkan dalam mendayung perahu. Keahlian mendayungnya tersebut berasal dari tempaan alam sebagai anak Dayak di pedalaman yang dekat dengan kehidupan sungai, sehingga mendayung ini sangat mudah baginya.
Ketika pasukan Resimen Pelopor Aipda Amji Attak memasuki wilayah perairan Malaysia pada malam hari yaitu di wilayah laut China Selatan, mereka mendengar suara deru kapal besar yang mendekat. Aipda Amji Attak segera memerintahkan pasukannya untuk waspada dan menyiapkan senjata, untuk selanjutnya bergerak memanfaatkan celah diantara kapal. Aipda Amji Attak juga memberitahukan kepada anggota pasukannya bahwa yang mereka hadapi adalah kapal patroli AL Malaysia dan Kapal Perang Inggris.Tanpa gentar sedikitpun segenap anggota pasukan Aipda Amji Attak langsung mengokang senjata mereka dan melepas pengamannya. Pada saat itulah lampu kapal patroli AL Malaysia menyoroti perahu yang membawa pasukan Pelopor tersebut, yang langsung disambut dengan reaksi pasukan Pelopor dengan segera menembaki lampu sorot tersebut. Sebuah tembakan tepat mengenai seorang anggota AL Malaysia dan sesaat kemudian terjadilah kontak senjata seru ditengah laut China Selatan pada malam tersebut. Hiruk pikuk suara tembakan dari masing-masing pasukan terdengar riuh dan memekakkan telinga. Suara teriakan dan suara tubuh manusia yang tercebur ke laut ramai terdengar. Rupanya beberapa anggota Pasukan Pelopor Aipda Amji Attak dan AL Malaysia terkena tembakan. Melihat hal itu Aipda Amji Attak segera memerintahkan anak buahnya untuk menembakan pelontar granat ke arah kapal musuh.
Tembakan pertama meleset dan granat jatuh ke laut, namun tembakan kedua berakibat fatal bagi kapal patroli AL Malaysia karena tembakan pelontar granat tepat mengenai gudang amunisi kapal sehingga kapal meledak dan menimbulkan cahaya terang. Kapal patroli AL Malaysia itu mengalami kerusakan berat dan mundur dari medan pertempuran. Mundurnya patroli AL Malaysia tersebut rupanya sambil memanggil bala bantuan, karena sesaat kemudian datanglah dua lagi kapal patroli AL Malaysia dan Kapal Perang Inggris. Dengan jarak yang masih jauh sehingga memungkinkan kedua kapal tersebut menggunakan meriam untuk menghajar posisi perahu pasukan Pelopor Aipda Amji Attak. Pertempuran kedua ini berjalan tidak seimbang karena pasukan Pelopor Aipda Amji Attak yang bersenjatakan senapan ringan dan pelontar granat harus menghadapi kapal AL Malaysia dan Inggris yang bersenjatakan meriam dan senapan mesin.
Namun demikian, Aipda Amji Attak tidak memerintahkan anak buahnya untuk menyerah melainkan justru memerintahkan untuk menyerang mendekati kedua kapal tersebut. Pada saat itu Aipda Amji Attak berstrategi bahwa dalam pertempuran jarak dekat masih ada harapan bagi pasukan Pelopor yang dipimpinnya untuk selamat atau paling tidak bisa mengakibatkan kerusakan yang lebih besar bagi musuh. Selanjutnya, tembakan senapan mesin kaliber 12,7 mm dari kapal musuh segera menghantam perahu pertama dan anggota Pasukan Pelopor Aipda Amji Attak yang ada di kapal tersebut tersapu tembakan. Dua perahu lainnya masih memberikan perlawanan dengan tembakan yang sengit. Pada peristiwa tersebut, Pasukan Pelopor Amji Attak hanya bersenjatakan senjata AR 15 sehingga sulit untuk membidik musuh. Sehingga para Pasukan Pelopor hanya menggunakan nalurinya untuk menembak. Mereka hanya membidik dan menembak pada saat pelontar granat ditembakan. Namun pada jarak yang jauh pelontar granat sulit diharapkan. Akhirnya perlawanan dari dua perahu pasukan Pelopor Aipda Amji Attak ini diakhiri oleh dua buah tembakan meriam yang mengenai samping perahu. Perahu Aipda Amji Attak hancur terkena tembakan meriam dan beliau gugur di Laut China Selatan. Perlawanan sengit pasukan Pelopor Aipda Amji Attak berakhir karena hampir semua anggota Pasukan Pelopor yaitu sebanyak 33 orang gugur dalam pertempuran tersebut.
Pada tahun 1966, Kesatrian Brimob Kelapa Dua diresmikan dan nama Aipda Amji Attak diabadikan sebagai nama Kesatrian Korps Brimob Polri Kelapa Dua. Selain karena ia paling senior, juga sebagai cikal bakal Pelopor Ranger dari kompi Resimen Pelopor. Selain itu juga sebagai pahlawan Dwikora yang gugur ketika peristiwa konfrontasi Malaysia. Dimana peristiwa ini ikut andil menghantarkan Malaysia, Singapura dan Brunei merdeka. Nama Aipda Amji Attak juga diabadikan dalam bentuk patung yang berdiri gagah di gerbang Kesatrian Brimob Kelapa Dua bersama patungnya Tobaki Takuda yaitu anggota Brimob Ranger yang juga tewas dalam konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964.

SIMBOL-SIMBOL PERADABAN DAYAK PURBA


Bangsa Dayak telah melewati periode peradaban yang sangat panjang. Nenek Moyang Bangsa Dayak telah mewariskan berbagai beradaban yang telah pudar akibat pengaruh zaman. Namun beberapa jejak peradaban Nenek Moyang Bangsa Dayak ini masih dapat ditemukan pada berbagai temuan batu-batu yang tergurat berbagai simbol. Simbol-simbol ini sebagai petunjuk tentang keberadaan Nenek Moyang Bangsa Dayak yang sekarang ini telah tergolong sebagai Bangsa Dayak Purba.
Adapun beberapa simbol Bangsa Dayak Purba yang sering ditemukan pada guratan batu-batu adalah sebagai berikut :

  1. Simbol Lilith atau Litih ini menggambarkan bahwa peradaban Bangsa Dayak Purba berada dibawah tanah. Dalam hal ini secara spiritual bahwa Bangsa Dayak Purba ini menghormati suatu ruh suci yang bersemayam dibawah tanah. Ruh suci ini diyakini berbentuk Naga. Biasanya kawasan yang ditemukan batu-batu bersimbol ini banyak ditemukan unsur-unsur emas karena perkembangan peradaban Bangsa Dayak Purba ini pada masa dahulu mengarah ke dalam tanah.
  2. Simbol Cantaka menggambarkan bahwa peradaban Bangsa Dayak Purba berada didalam air. Secara spiritual bahwa Bangsa Dayak Purba ini menghormati ruh suci yang bersemayam didalam air. Pada umumnya ruh suci tersebut diyakini berbentuk Buaya. Biasanya kawasan yang ditemukan batu-batu bersimbol ini banyak ditemukan unsur-unsur intan. Hingga sekarang masih diyakini bahwa peradaban Bangsa Dayak Purba ini masih ada dan terus berkembang didalam air.
  3. Simbol Zion menggambarkan bahwa peradaban Bangsa Dayak Purba berada pada sebuah Gunung atau Bukit Batu. Bangsa Dayak Purba dengan simbol seperti ini menghormati ruh suci yang diyakini bertubuh manusia dan berkepala burung. Bahkan beberapa masyarakat pedalaman meyakini bahwa kawasan yang ditemukan batu-batu bersimbol seperti ini merupakan tanda kawasan penduduk berkepala burung dengan kulitnya mirip kulit pohon kepuak. Pada umumnya, kawasan yang ditemukan batu-batu bersimbol ini akan terasa sangat mencekam, dengan suasana lembab dan sedikit terhambat untuk bernafas.

sumber : Laman Facebook Poesaka Kapoeas

70 BUMI DALAM ILMU PERBINTANGAN BANGSA DAYAK




Tersebutlah Ranying Mahatalla Langit telah menciptakan sebuah Pohon Batang Haring atau ‘Pohon Keyakinan’ yang memiliki empat cabang. Kemudian Ranying Mahatalla Langit menciptakan Cahaya dari sebuah intan putih sehingga serupa dengan Raja Burung Tinggang bermahkota emas, intan dan permata. Kemudian Ranying Mahatalla Langit meletakkan Raja Burung Tinggang di Pohon Batang Haring tersebut. Raja Burung Tinggang tersebut mengabdi kepada Ranying Mahatalla Langit selama 70 ribu tahun lamanya. Selanjutnya dari cahaya Raja Burung Tinggang tersebut, Ranying Mahatalla Langit menciptakan Cermin Kehidupan, dan diletakkan didepan Raja Burung Tinggang. Tatkala Raja Burung Tinggang melihat ke Cermin Kehidupan, terlihatlah bentuknya yang elok dan berkilau, maka malu lah ia kepada Ranying Mahatalla Langit, sehingga bercucuran keringatnya. Permulaan keringatnya menetes enam keringat yang kemudian tercipta empat ruh suci berbentuk burung, keringat kelima tercipta bunga Mawar dan keringat keenam tercipta padi. Selanjutnya bercucuran lagi keringatnya sebanyak 70 keringat dari kakinya sehingga terciptalah 70 bumi yang bertebaran di tujuh lapis langit.

Tuesday, March 13, 2018

Mengingat kembali tentang masyarakat suku dayak dalam perang Majang Desa yang berperang melawan penjajah di tanah Borneo


Angkatan Perang Majang Desa terbentuk tanggal 13 Mei 1944 di Embuan Kunyil Meliau, yang permulaannya dipimpin oleh Temenggung Mandi atau Pang Dandan, yaitu seorang pemuka adat Embuan Kunyil. Angkatan Perang Majang Desa dalam kepengurusan awalnya, terdiri dari sejumlah pemuka adat, seperti Temenggung Bagok, Pang Perada atau Sayang, Mohamad Natsir, Naga, Tan Sin An, Pang Peah, Panglima Burung, Abang Syahdansyah, Menera bin Dulang atau Pang Suma, Pang Linggan atau Ajun, Agustinus Timbang, Naga, Gompang dan Pang Lapen. Angkatan Perang Majang Desa terbentuk sebagai respon perlawanan terhadap kekejaman penjajahan Jepang. Kerja paksa terjadi di mana-mana, pemerkosaan, kekejaman dan perampokan terdengar di setiap saat. Kekejaman Jepang bermula dengan dipekerjakannya secara paksa masyarakat Kalimantan Barat di Petikah yaitu daerah Hulu Sungai Bunut Kapuas Hulu, masuk Sungai Mentebah. Mereka dipekerjakan sebagai kuli untuk menggali dan mengumpulkan batu tungau yang berwarna merah dari dalam tanah dan bebatuan di pertambangan Batu Tungau. Di Petikah ini terdapat tujuh lokasi pertambangan, yaitu Petikah I, Petikah II, Petikah III, Petikah IV, Petikah V yang lokasinya di Saksara dan terdapat sumber air panasnya, Petikah VI yang lokasinya masuk Sungai Kenarin dan Petikah VII yang lokasinya di Pasinduk cabang Sungai Kenarin. Jumlah pekerja di setiap lokasi pertambangan sekitar 10.000 orang. Sehingga jumlah pekerja di pertambangan batu tungau itu seluruhnya berjumlah sekitar 70.000 orang. Para pekerja itu bukan berasal dari daerah Kapuas Hulu, melainkan dari daerah pantai dan hilir, seperti dari daerah Sambas, Singkawang, Toho, Sanggau, Sekayam, Jangkang, Sekadau, Sintang dan Melawi. Semua pekerja di pertambangan Petikah itu tidak pernah diberi upah. Mereka diberi makan nasi bercampur antah yang sangat banyak. Bahkan biasa pula diberi nasi yang dicampur dengan buah keladi. Sebagai lauknya diberi seekor ikan seukuran dua jari dan daun pakis 3 batang. Makanan yang diberikan itu sangat tidak memadai, sehingga banyak yang jatuh sakit, berak darah dan terkena demam malaria. Kalau ada yang sakit dan tidak bisa bekerja, tentara Jepang memberi obat berupa minyak tanah bercampur sabun. Kalau ada yang tidak bisa bekerja karena sakit, akan dipukuli sampai mati. Sehingga setiap hari banyak orang yang mati karena sakit, kekurangan makanan, dianiaya dan dibunuh. Yang mati dan dibunuh, mayat-mayatnya langsung dikuburkan di bekas-bekas lubang galian yang tidak dipergunakan lagi. Selain di Petikah, masyarakat Kalimantan Barat juga di pekerjakan secara paksa di Suak Garong yaitu di perusahaan kayu Jepang bernama Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisha atau SSKK di Sungai Posong anak Sungai Embuan. Mereka dipaksa bekerja dengan tidak mendapat upah dan tanpa makanan sehingga mereka bekerja dengan perut kosong. Akibat kekejaman Jepang itu maka terbentuklah Angkatan Perang Majang Desa, yang berlanjut dengan pernyataan perang masyarakat pedalaman terhadap Jepang. Pernyataan perang itu ditandai dengan dikirimnya Damak atau Petuong atau Mangkuk Merah atau yang dikenal dengan Bunga Jarao ke seluruh pelosok Kalimantan, khususnya ke pehuluan dan pedalaman mulai dari Tayan, Balai Berkuak, Kualan, Sekadau, Durian Sebatang dan terus ke wilayah Raja Ulu Aek di Laman Sengkuang Ketapang. Sebagai penyampai pengumuman perang Majang Desa terhadap Jepang ini ditugaskan kepada Panglima Kilat. Disebut Panglima Kilat karena memiliki kemampuan bergerak secepat Kilat ke seluruh pelosok pedalaman. Setelah beredarnya petuong atau mangkuk merah sebagai pernyataan perang terhadap Jepang, mulai sore itu selama seminggu datang ribuan rakyat dari berbagai tempat di pedalaman siap berperang. Rapat besar diadakan selama tiga hari di Balai Keramat Tiang Lima Bambu Kuning Suak Tiga Belas Sungai Belansai. Dalam rapat besar tersebut dihasilkan kebulatan tekad bagi semua orang Dayak dimanapun berada untuk berperang melawan Jepang.Angkatan Perang Majang Desa ini selanjutnya berhasil menguasai tangsi-tangsi militer Jepang, dan puncaknya adalah berhasil membebaskan Pontianak dari penguasaan militer Jepang pada tahun 1945.