Wednesday, February 28, 2018
Penemuan Fosil Kayu Ulin yang berusia kurang lebih 2 juta tahun yang lalu di Kalimantan Timur
Baru-baru ini sebuah temuan yang sangat berharga telah menggegerkan masyarakat Kalimantan khususnya Kalimantan Timur, Bagaimana tidak menggegerkan karena telah ditemukannya sebuah Fosil yang tak ternilai harganya yaitu Fosil Kayu Ulin Berukuran Panjang 40 Meter dengan diameter 1,5 Meter. Kayu Ulin ini adalah sebuah kayu yang memliliki daya tahan yang sangat kuat dan bahkan tahan hingga ratusan tahun lamanya untuk dijadikan bahan bangunan tradisional masyarakat dayak. kayu ulin ini sendiri umumnya digunakan untuk bahan bangunan rumah panjang atau rumah betang dan juga sering dijadikan untuk bahan pembutan seni ukir pahat dalam pembuatan patung. temuan Fosil Kayu Ulin berumur 2 juta tahun ini ditemukan tepatnya di Desa Purwajaya, Kecamatan Loa Janan, Kutai Karta Negara (Kukar). temuan Fosil ini membuktikan bahwa Kalimantan adalah surganya Pohon Ulin Raksasa sekaligus daerah yang kaya akan Keanekaragaman Hayati atau sumber daya alam.
Sumber :
Instagram @INI_KALIMANTAN.ID
Saturday, February 17, 2018
Siapa yang sebenarnya hama di Hutan Kalimantan ini
Siapa yang sebenarnya hama di hutan ini, Manusia atau Hewan hutan? Pantaskah Orang Hutan dan hewan lainnya di hutan Kalimantan ini di sebut hama?, 80% Pulau Kalimantan adalah hutan dan menjadi habitnya para hewan dan 20% habitat para manusia.Terus siapakah yang di sebut hama? apakah manusia pantas membantai mereka secara membabi buta. tanpa manusia rumah mereka tidak akan hilang, hidup mereka tidak akan diakhiri jaman ketahui lah lahan yang manusia tempati adalah rumah mereka. sampai kapan kita akan terus berpangku dada dan palingkan muka terhadap rumah dan tanah mereka, 100 % hewan-hewan endemik dan primata Kalimantan akan punah dalam waktu dekat bila kita tidak membuka mata dan mempertahankan hutan kita yang kian hari makin menyempit dan makin terbabat akibat ulah keserakahan penguasa yang membutakan mata kita dengan uang. makin hari hutan kita yang dijuluki paru-paru dunia ini akan membekas diingatan kita dan tidak akan pernah terlintas dimata anak cucu kita nanti. Kalimantan hutan mu semakin runyam penghuni rimba mu semakin berkurang dan punah. terlintas pertanyaan dibenag ini, akan kah anak cucu ku nanti menikmati keasrian dan kegagahan rimba mu?
Tuesday, February 13, 2018
Tradisi Cempalek atau Pelupas, Cope, Bapusak dalam adat istiadat Dayak Kalimantan
Tradisi Cempalek atau
sering disebut dalam istilah Pelupas, Cope, dan Bapusak dalam bahasa beberapa
sub suku Dayak di Kalimantan adalah sebuah tradisi turun temurun dari nenek
moyang Suku Dayak yang masih dilakukan sampai saat ini. Cempalek adalah sebuah
tradisi dimana pada saat kita akan berpergian jauh atau ke tempat lain kita
wajib mencicipi makanan atau minuman meskipun hanya di colek dengan tangan hal
ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Jubata atau Puyang Gana Raja Juanta
(Tuhan Yang Maha Esa) karena telah diberikan rejeki yang disediakan oleh Alam.
Alasan lain tradisi Cempalek dilakukan Agar kita selalu dijauhi dari mara
bahaya dalam perjalanan kita ke suatu tempat dan dalam istilah adat istiadat
suku Dayak agar kita tidak mengalami hal yang disebut Tempunan atau Kempunan.
Tempunan atau Kempunan ini adalah sebuah bentuk kesialan yang akan kita alami
seperti sesuatu bahaya yang akan menimpa diri kita bila kita tidak melakukan
tradisi cempalek menurut aturan dalam tradisi cempalek tersebut. Meskipun
tradisi Cempalek ini masih dilakukan sampai saat ini tetapi ada sebagian
masyarakat Dayak yang sudah mulai meninggalkan dan tidak pecaya akan tradisi
Cempalek ini, dan tidak semua sub suku Dayak di Kalimantan yang mempunyai
tradisi cempalek karena ada beberapa sub suku Dayak yang tidak ada tradisi
tersebut. Oleh Karena itu mari kita sebagai orang Dayak tetap menjaga tradisi
dan adat istiadat yang telah diturunkan Nenek Moyang kita sejak dahulu agar
tradisi Cempalek ini masih dilsetraikan dan dilakukan sampai ke anak cucu kita
nanti.
Saturday, February 10, 2018
Dayak Akan Bertahan Atau Hilang?
Sebuah tulisan yang layak menjadi renungan dan intermezzo dari penggalan tulisan Halaman Facebook Pulau Dayak. Aku punya seorang adik yang tinggal di kota kabupaten. Aku dayak dari sub etnis bakati. Adik seorang notaris dan beristri dayak sub etnis Suruk. Keluarga adikku dikaruniakan 3 orang anak 1 putri dan 2 putra, Pada saat Natal 2017 aku dan keluarga berkunjung di rumah adikku. Saatnya berkumpul sengaja aku bertanya pada putri adikku,"kamu dayakapa? " sambil menggarukkan kepala dia menatap kedua orang tuanya dantidak bisa menjawab. Tanyaku lagi, " kamu dayak dan bisa bahasa dayakapa? Sekali lagi dia diam dan menatap kedua orang tuanya. Aku alih pertanyaan kepada orang tua mereka, "bahasa dayak mana yg kalian ajarkan pada mereka? Sambil menunjuk ketiga anaknya. Jawaban mereka, "kami mengajarkan bahasa Indonesia Kembali kita kepada judul tulisan ini "DAYAK BERTAHAN ATAU TIDAK?" sebagai contoh kecil pada kejadian diatas sudah pasti kita akan menyimpulkan TIDAK . Mengapa demikian? Karena kebanyakan orangdayak mulai mengajarkan bahasa yg umum yg dipergunakan masyarakat. Tahun 2016 saat kami berkunjung ke Sampit untuk mengikuti nampak tilas kerusuhan Sampit 2000. Kami juga menemukan bukti bahwa dayak akan hilang. Beberapa pemuda di kota Sampit menceritakan bahwa jauh sebelum kerusuhan Sampit mereka tidak tahu mereka adalah dayakkarena mereka pikir mereka adalah banjar (banjar juga masih berdarahdayak) hanya yg kami tekanan disini adalah dayak persubetnis bisabertahan atau tidak. Dalam hati kami lho dan kamipun bertanya,"mengapa?" Jawaban mereka bahwa orang tua mereka mengajarkan bahasa banjar untuk komunikasi sehari hari dan tidak pernah bercerita bahwa mereka adalah dayak. Pertanyaan kami lagi "apakah masih ada orang yg bisa berbahasa dayak Sampit? " ternyata hanya sedikit orang yg bisa berbahasa dayak Sampit itupun hanya orang orang tua yg sudah berumur. Perlu untuk kita ketahui bahwa di Kalteng kaltim dan beberapa daerah di pulau dayak ada beberapa bahasa dayak yg terancam punah bahkan ada yg sudah direkam untuk disimpan di museum. Dalam bahasa, adat istiadat dan budaya dayak memang sangat rentan terhadap kepunahan dan ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Sekarang marilah kita menghadirkan dayak dalam kehidupan kita sehari hari agar tidak punah dan mulailah dari komunitas kecil yaitu keluarga kita.
Sumber:
Tuesday, February 6, 2018
Ngayau tradisi perburuan kepala manusia dalam suku dayak pada masa lampau
Ngayau merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya. Suku Iban, suku mualang, Suku Kenyah dan suku dayak ngaju adalah empat dari suku Dayak yang memiliki adat Ngayau. Pada tradisi Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia dari pihak musuh. pada saat itu ngayau dilakukan oleh seorang laki-laki atau kesatria dayak, dalam peraturan adat dayak pada masa itu jika seseorang yang ingin melepas masa lajang atau ingin menikah dengan seorang wanita dalam suku dayak dia diharuskan untuk mengayau dan jika dia berhasil mendapatkan satu kepala musuh dalam perburuan ngayau yang dia lakukan maka tanggung jawab dia sebagai laki-laki dan kepala rumah tangga nantinya sudah dirasa cukup untuk mengayomi keluarganya sekaligus melindungi keluarganya dari hal-hal buruk. namun seiring dengan masuknya agama atau kepercayaan barat seperti katolik dan protestan yang disebarkan oleh para misionaris barat tradisi ngayau sudah mulai punah dan ditiadakan hal itu dibuktikan dengan dilakukannya perjanjian Tumbang Anoi. perjanjian tumbang anoi sendiri dilaksanakan pada masa kolonial belanda sekitar tahun 1847-an(perkiraan) dalam perjanjian-perjanjian tersebut kepala suku dayak kahayan mengumpulkan kepala sub suku dayak yang ada dikalimantan untuk melakukan musyawarah damai dan meniadakan tradisi ngayau, dalam perjanjian tersebut juga jika ada salah satu sub suku dayak yang melanggar akan dikenakan sangsi adat.
Tidak semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau. Seperti halnya Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada istilah Ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang kepala pimpinan musuh yang dijadikan target sasaran mereka. Apabila kepala pimpinannya berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera bertekuk lutut. Kepala pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap ritual-ritual adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban, Mualang, dan Ngaju, kepala tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak Meratus dan Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.
sumber:
Monday, February 5, 2018
Latar belakang Tari Ajat Temuai Datai atau tarian peyambutan tamu dalam adat suku dayak
"Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic
Group), yang tidak dapat diartikan secara langsung, karna terdapat kejanggalan
jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya Ajat adalah Persembahan atau
Permohonan dengan menggelar ritual atau Upacara adat, kemudian Temuai artinya:
tamu, Datai artinya: Datang. Jika disesuaikan dengan maksud tarian yaitu: Tari
yang didalamnya terdapat Upacara Adat dalam prosesi menyambut tamu atau Tari
Menyambut tamu. bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung
(diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan/masa lampau, di
antara kelompok- kelompok suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me dan Ngayau.
Me berarti melakukan aksi, Ngayau: pemenggalan kepala musuh, tindakan
memenggal kepala musuh (Mengayau terdapat dalam bahasa Dayak Iban dan Ibanik,
juga pada masyarakat Dayak pada umumnya). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni
suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan
memenggal kepala lawannya (mengayau terdiri dari berbagai macam adatnya di
antaranya Kayau banyau/ramai/serang, Kayau Anak yaitu: Mengayau dalam kelompok
kecil, Kayau Beguyap yaitu: Mengayau tidak lebih dari tiga orang. Pada
masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari
pengayauan dan membawa bukti hasil Kayau berupa kepala manusia (musuh),
merupakan tamu yang diagungkan serta dianggap sebagai seorang yang mampu
menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat
Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan
suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi si empunya dan
sukunya.
Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat
Istiadat Kalimantan Barat 1974), ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk
melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam,
dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil
dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi
dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang disebut Nyelaing
(teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih!, sebanyak tujuh kali yang berarti
pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang
masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan
menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya
sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan
penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau
mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar
mempersiapkan acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui empat babak
yakni:
- Ngunsai Beras (menghamburkan beberapa beras di depan para Bujang Berani/Ksatria/Pahlawan, sambil membacakan doa melalui perantaraan Sengalang Burong),
- Mancong Buloh yaitu; Menebaskan Mandau/Nyabor untuk memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau di empang di pintu masuk wilayah rumah panjai.
- Ngajat Ngiring Temuai: menari mengiringi tamu ataupun memandu tamu sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan Ngajat Ngiring Temuai.
- Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai) atau masuk ke tempat tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu di dalam sebuah wadah sebagai simbol pencelap semengat , setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diizinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Semengat (mengembalikan semangat perang) (john Roberto P. 2002.ISI yogyakarta), kemudian baru diadakan Gawai pala' acara ini untuk menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian yang disebut: Tari Ayun Pala, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa Panglima / Tuwak Dayak Mualang masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau (pemimpin Kayau), Tuwak Pangkar Begili (Tidak Pernah Mund).
Sumber :
https//: Wikipedia.org.id/
https//: Wikipedia.org.id/
Sunday, February 4, 2018
Tampun Juah Cerita rakyat Dayak Mualang
Tampun Juah merupakan tempat
pertemuan dan gabungan bangsa Dayak yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic
group. Sebelum di Tampun Juah masyarakat Pangau Banyau tersebar dan hidup di
daerah sekitar bukit kujau’ dan bukit Ayau, kira-kira di daerah Kapuas Hulu,
kemudian pindah ke Air berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang kuning dan Tampun
Juah, dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain di mungkinkan ada
yang berpisah dan membentuk suku atau kelompok lainnya.
Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan mencapai zaman Eksistensi atau keemasan, dalam tiga puluh buah bilik Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka hidup aman, damai dan harmonis. Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan di sungai.
Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan mencapai zaman Eksistensi atau keemasan, dalam tiga puluh buah bilik Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka hidup aman, damai dan harmonis. Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan di sungai.
Sumber:
Thursday, February 1, 2018
Buah Leci hutan dari hutan borneo
Buah leci hutan atau sering
dikenal sebagian masyarakat dayak dengan sebutan buah empringat adalah salah
satu buah yang tanamannya tumbuh liar dihutan borneo. Bentuknya yang seklias
hampir mirip dengan buah leci pada umumnya menjadi salah satu alasan mengapa
buah yang tumbuh liar ini disebut sebagai leci hutan. Ciri khas dari buah ini
adalah tumbuhan atau tanamanya berupa akar yang merambat ditanah hingga
semak-semak dan memliliki duri disetiap akar sampai tangkai buahnya. pada umunya tanaman
buah leci hutan
ini banyak tumbuh dihutan rawa serta tropis, bentuk dari buah
leci ini berbentuk buah kecil yang berwarna merah dan membentuk tangkai atau
tandah buah kecil. Rasa dari buah ini sedikit asam dan agak manis oleh karena
itu buah ini sangat digemari sebagian masyarakat untuk dikonsumsi, tidak hanya
mansuia saja selain itu buah leci hutan ini juga sangat digemari burung punai
untuk dimakan buahnya.
Buah Kubal Buah yang tumbuh liar dihutan buah khas hutan Kalimantan
Buah Kubal adalah salah satu jenis buah yang banyak tumbuh liar
di alam hutan Kalimantan, ciri Khas dari buah ini sendiri adalah pohon-nya berbentuk
akar yang menjulur serta merambat panjang ke atas dan akarnya selalu menjulur
meliliti pohon yang ada disekitarnya. Umumnya Warna dari buah kubal ini
berbentuk orange dan isinya juga berwarna orange ketika masak, daerah yang
ditumbuhi oleh tumbuhan liar ini sebagian besar hutan tropis yang berada
di wilayah Kalimantan khususnya Kalimantan barat hingga Sarawak Malaysia.
Buah kubal ini sendiri banyak digemari oleh masyarakat umunya masyarakat dayak karena rasanya yang khas dan manis. Ada beberapa jenis dari buah kubal ini sendiri antara lain adalah kubal susu dan kubal arang dalam bahasa dayak. Tumbuhan kubal ini sendiri berbuah secara musiman dan berbuah pada saat musim buah.
Buah kubal ini sendiri banyak digemari oleh masyarakat umunya masyarakat dayak karena rasanya yang khas dan manis. Ada beberapa jenis dari buah kubal ini sendiri antara lain adalah kubal susu dan kubal arang dalam bahasa dayak. Tumbuhan kubal ini sendiri berbuah secara musiman dan berbuah pada saat musim buah.
sumber: