Thursday, April 26, 2018
Festival Gawai Dayak salah satu tradisi tahunan yang mempunyai keunikan tersendiri
Gawai Dayak adalah salah satu
tradisi sekaligus festival tahunan yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya dalam
masyarakat Dayak Kalimantan khususnya Kalimantan Barat, biasanya tradisi atau
festival budaya tahun ini rutin diselenggarakan di Rumah Radang Pontianak
setiap bulan Mei. Gawai Dayak merupakan budaya sekaligus Ikonik yang
melambangkan keunikan budaya Dayak yang terdapat dalam daftar keragaman budaya
yang ada di Nusantara. Bukan tampa alasan Gawai Dayak menjadi Budaya yang
sangat ikonik, karena Gawai Dayak adalah
sebuah festival tahunan yang mempunyai keunikan tersendiri dan merupakan acara
tahunan yang rutin diselenggarakan dengan demikian Gawai Dayak ini sendiri telah
menarik minat orang luar seperti wisatawan dalam dan luar negeri untuk meliput
momen tersebut dalam lensa mereka masing-masing, hal tersebut bisa kita lihat pada saat digelarnya
pawai atau festival gawai dayak ketika acara pembukaan Gawai bahkan sampai penutupan
sekaligus. Bila kita lihat secara budaya tradisi Gawai Dayak ini merupakan
bentuk atau wujud rasa syukur kita terhadap tuhan yang maha esa atau jubata
atas rejeki yang telah diberikan seperti panen padi yang sangat berlimpah pada
musim berladang dan masih diberikan umur panjang serta dijauhkan dari hal-hal atau
sesuatu yang buruk.
Tuesday, April 24, 2018
Menepis anggapan tentang ucapan Terima Kasih yang tidak terdapat dalam bahasa berbagai suku Dayak Kalimantan
Uacapan terima kasih adalah salah satu bentuk reaksi
dari seseorang yang hendak menerima sesuatu bentuk belas kasian dan rasa syukur
atas bantuan dan materi yang diberikan oleh orang lain kepada orang tersebut
begitu pun sebaliknya. Tapi disini saya ingin membahas satu hal yang dikata
orang lain tentang adat istiadat dalam suku Dayak, yaitu tentang kata terima
kasih yang secara khusus tidak terdapat
dalam terjemahan bahasa suku Dayak manapun yang ada di pulau Kalimantan. Pernah
seseorang bertanya kepada saya tentang apakah suku Dayak mengenal rasa terima kasih dalam kehidupan
bermasyarakat dan interaksi sosial di lingkungan suku Dayak itu sendiri pada
zaman nenek moyang dahulu atau sampai dengan saat ini, mengingat tidak adanya
terjemahan secara khusus kata terima kasih dalam bahasa dayak?. Baiklah disini
saya ingin menjelaskan jawaban atas pertanyaan orang tersebut. Rasa terima
kasih itu tidak selalu dalam bentuk ucapan karena rasa terima kasih bisa saja
dalam bentuk sebuah aksi atau doa Seperti kebiasaan atau tradisi dalam adat
istiadat suku dayak. jadi pada pokok pembahasannya saya simpulkan bahwa memang
ada beberapa Sub Suku Dayak yang secara khusus tidak ada terjemahan kata Terima
Kasih, tetapi bukan berarti Suku Dayak tidak mengenal rasa terima kasih. Dalam
tradisi atau kebiasaan suku dayak terima kasih diungkapkan melalui sebuah aksi
dengan rasa syukur yaitu tradisi gawai dayak secara besar maupun Gawai berkat
benih pada suatu kampung serta ritual adat lainnya. Hal itu dilakukan untuk
memanjatkan doa dan rasa syukur (terima kasih) kepada tuhan atau jubata dalam
bahasa dayak. Jadi pada intinya anggapan tentang suku Dayak yang tidak mengenal
rasa terima kasih itu anggapan yang salah besar, karena sebenarnya suku Dayak
memang sudah mengenal rasa terima kasih secara turun temurun dari nenek moyang
suku Dayak itu sendiri.
Rumah panjai sungai antu hulu, rumah betang tertua suku Dayak Mualang
Sunday, April 22, 2018
Panglima Burung, Panglima Ngayau dan Panglima Abio, pejuang legendaris Dayak.
Tidak seperti penampilan orang-orang yang mengaku Panglima Dayak hari ini, Panglima Burung Mansau adalah seorang bersahaja dan pejuang Dayak Iban. Beliau berasal dari Desa Majang, Kapuas Hulu, dan lahir pada tanggal 14 November 1914. Salah satu perjuangan beliau adalah menyerbu Pontianak, untuk membalas dendam kepada Jepang atas kematian Pang Suma. Kemudian menuntut diangkatnya Sultan Pontianak untuk menghindari kekosangan kekuasaan. Dalam Buku Sultan Hamid II , Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali - Garuda Pancasila, pada bagian : Surat Sultan Hamid II kepada Solichim Salam, Penjelasan tentang Sejarah Lambang Negara RIS 11 Februari 1950, disitu beliau mengungkapkan andil Panglima Burung dalam memberikan masukan membuat lambang Negara Indonesia. Panglima burung wafat pada pada tahun 2005 silam dan dimakamkan pada tanggal 27 Oktober 2005 di Taman Makam Pahlawan Pang Suma di Meliau, Kalimantan Barat.
sumber : halaman facebook Pulau Dayak
https://www.facebook.com/photo.php
Sunday, April 1, 2018
SIMBOL BERSATUNYA SEMANGAT PARA LELUHUR KALIMANTAN
Simbol Bersatunya Semangat Para Leluhur Kalimantan biasanya akan muncul jika akan ada kegiatan besar atau sering juga muncul jika akan terjadi peperangan. Simbol ini muncul pada kawasan suci yang dahulunya pernah menjadi Balai atau Tempat bertemunya Para Leluhur Kalimantan yang memiliki kemampuan spiritual yang tinggi atau dengan kata lain memiliki Ilmu yang tinggi. Jika Para Leluhur Kalimantan tersebut telah tidak ada lagi di dunia, maka diyakini bahwa ruh-ruh suci Para Leluhur tersebut atau Ilmu-Ilmu yang dimiliki berkumpul pada kawasan yang muncul simbol seperti ini. Pemunculan simbol seperti ini tidak pada kawasan sembarangan, ada kawasan tertentu yang mengikuti syarat dan ketentuan dari pembentukan kawasan suci. Untuk penjelasan tentang kawasan suci tersebut akan dibahas pada postingan yang lain. Simbol ini dapat muncul dengan disengaja yaitu dibuat oleh Tetua Adat yang turun temurun mengetahui tentang simbol tersebut dari Leluhurnya. Namun simbol tersebut dapat juga muncul dengan tanpa disengaja. Untuk tanpa disengaja ini ada dua makna yaitu muncul dengan sendirinya sebagai tanda kepada anak keturunan mereka, dan dapat melalui manusia yang tanpa sadar akibat pengaruh Ruh-Ruh Suci tersebut sehingga tanpa diketahuinya membuat simbol tersebut mengikuti kemauan dari Ruh-Ruh Suci tersebut. Untuk di Kabupaten Sanggau, kemunculan simbol seperti ini merupakan tanda berkumpulnya semangat Para Leluhur Pasak Sanggau yang telah berkumpul pada kawasan tersebut, dimana kawasan itu dahulunya merupakan kawasan suci sebagai Balai atau tempat Para Leluhur Pasak Sanggau berkumpul.
sumber : Halaman Facebook Poesaka Kapoeas
sumber : Halaman Facebook Poesaka Kapoeas
Saturday, March 31, 2018
SIMBOL ASAL MUASAL LELUHUR DAYAK PANGKODANT
Suku Dayak Pangkodant di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, tersebar di beberapa kampung yaitu Desa Lape, Dusun Berancet, Dusun Keladau, Embaong, Sei. Mawang, Rantau, Sanjan, Nyandang dan Tokang. Di wilayah kampung Rantau masih terdapat Tembawang Durian milik bersama yang merupakan warisan nenek moyang suku Pangkodant. Di wilayah kampung Rantau ini telah berdiri rumah Betang yang lokasinya di Dorik Mpulor. Rumah Betang ini sebagai tempat untuk mempertemukan semua suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat, khususnya yang ada di Kabupaten Sanggau dalam suatu acara yang disebut Gawai Dayak, atau yang dalam istilah Dayak Pangkodant disebut Gawai Nosu Minu Podi yang memiliki makna Pesta Padi. Menurut penuturan Pemangku Adat Pangkodant, bahwa nenek moyang mereka berasal dari suku Dayak Jangkang, yang merupakan suku dari anak-anak kedua hasil pernikahan Babay Cinga’ dan Dara Nante. Anak kedua Babay Cinga’ dan Dara Nante bernama Patee Gumantar yang selanjutnya melahirkan suku Dayak Jangkang, dan selanjutnya seiring perkembangan zaman terjadi pemisahan akibat perpindahan penduduk dalam mencari kehidupan dan nafkah sehingga lahirlah suku Dayak Pangkodant. Adapun Leluhur awal suku Dayak Pangkodant ini dikisahkan dalam simbol yang terpahatkan pada sebuah batu pedagi yang hingga kini masih disimpan dan dituturkan turun temurun yaitu bahwa Leluhur awal mereka berasal dari Dunia Bengkung, dengan nama Negerinya yaitu Lintan. Leluhur Awal ini berciri memiliki mata satu dan berwarna merah, serta dapat terbang secepat kilat kesana kemari. Leluhur selanjutnya yang masih dikenali oleh suku Dayak Pangkodant bergelar Nek Gansa. Dari perjalanan awal Leluhur yang awal dari negeri Lintan singgah di Bumi. Selanjutnya Leluhur yang awal pergi ke negeri Gerugut di Dunia Danum. Leluhur yang awal ini berhasil menaklukkan negeri Gerugut dan membangun peradaban di negeri tersebut. Kemudian Leluhur yang awal pergi ke negeri Sidi, dan membangun dua peradaban di negeri tersebut. Sebelum kembali ke negeri awalnya di Lintan, Leluhur yang awal membangun dua dermaga pada dua masa, dimana dermaga tersebut sebagai jembatan mereka menuju ke Gerbang Bunga Terong. Gerbang Bunga Terong merupakan gerbang berbentuk lorong panjang untuk pergi ke langit kedua hingga langit ketujuh, termasuk gerbang menuju keluar dimensi langit ketujuh. Gerbang Bunga Terong tersebut terletak di dekat matahari, dan terdapat dinding megah yang melindungi Gerbang Bunga Terong tersebut dari sengatan matahari sehingga Gerbang ini tidak hancur oleh panasnya matahari. Gerbang Bunga Terong ini selanjutnya diabadikan pada Tatto anak keturunan mereka di Bumi, dan menjadi simbol Tatto suci turun temurun. Kemudian pulang kembalilah Leluhur yang awal di negeri Lintan, dan selama perjalanan mereka menggunakan benda yang dikatakan seperti buah Catur. Setelah kembali lagi ke negeri Lintan, Leluhur yang awal pergi lagi ke Bumi dan mereka menikah dengan manusia-manusia di Bumi. Manusia-manusia di Bumi ketika menemukan Leluhur yang awal berada dalam sebuah benda bercahaya berbentuk padi yang sangat besar dan kulitnya keras seperti batu dan besi. Benda bercahaya seperti padi tersebut jatuh di wilayah Batu Bergantung, yang kemudian menjadi asal muasal Leluhur di Bumi. Setelah menikah dengan manusia-manusia di Bumi, Leluhur yang awal membangun jalur terpisah yang hanya dapat dilewati oleh Leluhur dari Lintan menuju ke Bumi serta anak keturunan mereka. Adapun warisan berharga dari Leluhur-Leluhur yang awal yaitu kemampuan mengukir dan membuat sesuatu, termasuk salah satunya dapat melunakkan besi. Salah satu warisan berharga pada Leluhur dari Nek Gansa yaitu seperangkat pakaian perang besi dan pakaian dari rajutan rantai besi dengan penutup kepalanya seperti helem besar yang melebar ujungnya menutupi bahu, pada ujung atas helem tersebut terdapat tanduk besi yang melengkung. Pakaian perang besi ini merupakan warisan turun temurun dari Leluhur-Leluhur Nek Gansa pada masa dahulunya. Pakaian perang besi ini kemudian dipergunakan oleh keturunan Nek Gansa yang bernama Lawan atau bergelar Singa Jaga Kota ketika menjaga Kerajaan Sanggau dari serangan musuh yang akan memasuki wilayah Kerajaan Sanggau. Selanjutnya Lawan atau Singa Jaga Kota mempergunakan pakaian perang besi ketika bergabung dalam Angkatan Perang Majang Desa. Lawan atau Singa Jaga Kota dengan pakaian perang besinya bersama Angkatan Perang Majang Desa kemudian memasuki Pontianak dan berhasil membebaskan Pontianak dari penguasaan tentara Jepang.
Lawan atau Singa Jaga Kota lahir tahun 1865 dan wafat pada tanggal 13 Desember 1977. Lawan atau Singa Jaga Kota ini memiliki kaki yang panjang, sehingga jika beliau duduk menjongkok maka lutut kakinya tersebut berada melewati atas kepala beliau.
Lawan atau Singa Jaga Kota lahir tahun 1865 dan wafat pada tanggal 13 Desember 1977. Lawan atau Singa Jaga Kota ini memiliki kaki yang panjang, sehingga jika beliau duduk menjongkok maka lutut kakinya tersebut berada melewati atas kepala beliau.
sumber: halaman facebook Poesaka Kapoeas
Monday, March 19, 2018
sejarah kerajaan Lawai dalam peradaban suku dayak
Setelah beberapa bulan menetap di Kampung Kantu’, Babay Cinga’ dan Putri Dara Nante bersama rombongannya kemudian pergi ke Labai Lawai, karena Putri Dara Nante sangat rindu ingin mengunjungi makam Ibundanya di Labai Lawai. Usai mereka berpamitan dengan Dakdudak, mereka langsung pergi ke Labai Lawai menggunakan beberapa buah dedaup dengan menyusuri Sungai Kapuas. Setelah beberapa hari mendayung dedaup, maka tibalah rombongan Babay Cinga’ di Labai Lawai. Di Labai lawai Dedaup-dedaup mereka tidak bisa langsung merapat, karena pada masa tersebut di Labai Lawai ternyata telah ditempati oleh sekelompok masyarakat setelah sekian lama ditinggalkan oleh rombongan Aji Melayu untuk melanjutkan pencarian Kerajaan Tanjung Pura. Mereka mendapat serangan dari masyarakat tersebut yang menyerang mereka dengan sumpit yang sangat membahayakan. Dengan cekatan rombongan Babay Cinga’ segera bertindak. Mereka menyusun strategi agar bisa turun ke daratan. Strategi tersebut berhasil. Babay Cinga’ dan beberapa orang termasuk Manok Sabong berhasil naik ke daratan. Perang sengit antara rombongan Babay Cinga’ dan masyarakat Labai Lawai terjadi. Setelah beberapa saat terjadi pertempuran yang sengit, masyarakat Labai Lawai ini akhirnya dapat mereka taklukkan. Masyarakat Labai Lawai ada yang menyingkir dari Labai Lawai, namun ada pula yang tunduk kepada Babay Cinga’, mereka kemudian bergabung dengan rombongan Babay Cinga’. Setelah situasi dapat mereka kendalikan, semua dedaup rombongan Babay Cinga’ dapat merapat dan mereka turun ke daratan. Dara Nante dan Babay Cinga’ langsung mengunjungi makam Ibunda Dara Nante. Sesuai permintaan Dara Nante, maka rombongan Babay Cinga’ menetap beberapa waktu di Labai Lawai. Mereka membangun pemukiman baru, namun ada juga yang menempati pemukiman milik masyarakat Labai Lawai. Belum lama rombongan Babay Cinga’ bermukim di Labai Lawai, kembali mereka diserang oleh kelompok masyarakat dari wilayah lain. Rupanya beberapa orang yang telah menyingkir dari Labai Lawai, mengumpulkan kelompok masyarakat dari wilayah lain untuk kembali merebut wilayah Labai Lawai dari rombongan Babay Cinga’. Mereka datang dengan jumlah yang lebih banyak dan pertempuran sengit kembali terjadi. Gajah Gemala Johari atau Arya Mada, anak Babay Cinga’ dan Dara Nante juga ikut berperang mempertahankan wilayah Labai Lawai. Bahkan Dara Nante yang pada masa itu sedang mengasuh Arya Batang atau Patee Gumantar juga ikut dalam pertempuran. Arya Batang pada peristiwa tersebut masih bayi, dan diamankan oleh Dara Nante dalam sebuah Jarai atau keranjang yang terbuat dari anyaman tumbuhan. Sambil memanggul Arya Batang di punggungnya, Dara Nante turun ke medan pertempuran membantu suaminya Babay Cinga’ dan pengikutnya mempertahankan Labai Lawai dari serangan musuh. Dengan senjata terhunus, Dara Nante bertempur dengan gesit dan mengalahkan musuh yang menyerang Labai Lawai. Jarai dipunggungnya yang berisi Arya Batang tidak menghambat ketangkasan geraknya dalam bertempur. Bahkan musuh yang menyerangnya dengan sumpit juga dengan lincah dihindarinya. Setelah terjadi pertempuran yang sengit, kelompok musuh yang menyerang akhirnya berhasil ditaklukkan. Namun Babay Cinga’ dan pengikutnya sangat terkejut karena ternyata jarai yang sedang dipanggul Dara Nante telah dipenuhi oleh peluru sumpit. Mereka menjadi histeris dan khawatir jika peluru-peluru sumpit yang beracun itu melukai Arya Batang yang berada di dalam jarai yang di panggul Dara Nante, dengan cepat mereka melepaskan jarai dari tubuh Dara Nante dan membukanya. Ketika membuka dan melihat ke dalam jarai, mereka menjadi sangat kaget dan terheran-heran, karena Arya Batang baik-baik saja. Peluru-peluru sumpit beracun yang terlihat menembus jarai, sedikitpun tidak melukai tubuh Arya Batang. Bahkan terlihat Arya Batang sedang bermain-main dengan mata peluru-peluru sumpit yang telah patah sambil tertawa-tawa. Peluru-peluru sumpit yang beracun itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap tubuh Arya Batang. Setelah melihat Arya Batang baik-baik saja, Babay cinga’ dan Dara Nante serta pengikutnya menjadi lega. Selama menetap di Labai Lawai, beberapa kali pengikut Babay cinga’ mendapatkan serangan dari kelompok masyarakat yang berasal dari wilayah lain. Bahkan beberapa kali juga kelompok perompak berusaha mengusir mereka dari Labai Lawai. Rupanya pada masa tersebut perairan di sekitar wilayah Labai Lawai telah ramai dilewati orang, dan kelompok perompak banyak yang berkeliaran di wilayah perairan itu untuk mencari mangsa, namun semua gangguan dan ancaman tersebut dapat mereka atasi dan taklukkan. Kehebatan Babay Cinga’ beserta pengikutnya ternyata mulai tersebar di sekitar wilayah perairan Labai Lawai, bahkan hingga ke pedalaman. Gangguan perompak yang sangat meresahkan masyarakat pedalaman memaksa mereka untuk mencari tempat perlindungan. Mereka pun berbondong-bondong pergi ke Labai Lawai untuk memohon perlindungan. Melihat begitu banyaknya kelompok masyarakat pedalaman yang datang untuk memohon perlindungan dan ingin bergabung sebagai pengikut, membuat Babay Cinga’ dan Dara Nante berfikir kembali jika hendak meninggalkan Labai Lawai. Selain itu datang juga masyarakat yang ternyata mengenali Babay Cinga’ sebagai Raja Nan Sarunai. Maka diputuskanlah bahwa mereka akan tetap tinggal di Labai Lawai dan akan membangun sebuah Negeri di tempat tersebut. Pada tahun 1325 Masehi, berdirilah Kerajaan Lawai dengan Babay Cinga’ sebagai rajanya yang kemudian bergelar Patee Bacinga’. Selanjutnya Patee Bacinga’ dibantu Dara Nante beserta para pengikutnya membentuk sistim pemerintahan kerajaan yang mirip dengan sistim pemerintahan di Nan Sarunai. Namun dalam sistim pemerintahan Kerajaan Lawai ini dimulai dengan nama penguasa kerajaan yang disebut Raja yang bergelar Patee. Dibawah Patee, terdapat penguasa wilayah yang bergelar Demung atau Demong dan Kiyai. Demung bertanggungjawab terhadap wilayah daratan, dan Kiyai bertanggungjawab terhadap wilayah perairan. Demung dan Kiyai membawahi Tamanggung atau Temenggung, Kanduran dan Rangga. Dalam sistim pertahanan dan keamanan yang bertanggung jawab terhadap pasukan dan prajurit kerajaan, jabatan tertinggi bergelar Cinga’ atau Singa, dan membawahi jabatan Ria, Macan dan Jaga. Anak Patee Bacinga’ yang bernama Gajah Gemala Johari atau Arya Jamban, namun dipanggil Patee Bacinga’ dengan nama Mada atau Arya Mada pada saat itu bertugas dalam jabatan Jaga, sehingga ia mendapat gelar Jaga Mada. Sedangkan pada bidang pengadilan adat dan agama, jabatan tertinggi bergelar Mangku dan membawahi beberapa jabatan yaitu Ngabeh atau Ngabehi ataupun Mas Ngabehi dan Dambung. Setelah terbentuknya sistim pemerintahan kerajaan, maka Kerajaan Lawai mulai mengembangkan diri untuk membangun Labai Lawai menjadi bandar atau pelabuhan perdagangan. Labai Lawai selanjutnya ramai dikunjungi orang dan menjadi sebuah bandar perdagangan yang sangat terkenal.
sumber : Halaman facebook Poesaka Kapoeas
Saturday, March 17, 2018
cerita asal muasal AMJI ATTAK
Amji Attak berasal dari kampung Kapayakng, sekitar 20 km dari pasar Anjungan, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Amji Attak merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Amji Attak memulai kariernya dari Sekolah Agen tahun 1958, yang pada saat itu sudah masuk Mobrig Ranger atau Mobil Brigade Ranger. Mobrig dahulunya hanya memiliki Kompi 5994, yang memiliki makna tahun 59 dengan jumlah kesatuan 94, dan Amji Attak adalah anggota Kompi 5994 tersebut. Amji Attak adalah seorang Putra Dayak berdarah panas, yang tidak boleh melihat musuh pasti akan dikejar dan di tantangnya. Karena darah panasnya ini sehingga ia sering diturunkan ke wilayah konflik dan menjadi yang terdepan sebagai tameng pasukannya. Ketika di wilayah konflik dan terjadi baku tembak dengan musuh, ketika pasukannya yang lain sibuk bersembunyi dan berlindung, Amji Attak bukannya berlindung, ia malah mengejar arah tembakan tersebut sambil balik menembakkan senjatanya ke arah musuh, sehingga membuat musuh kocar kacir dan lari tunggang langgang. Seringkali dalam setiap bertugas, Komandannya ini menjadi kerepotan mengendalikan keberaniannya yang sangat nekad itu, karena ia tidak boleh mendengar tembakan musuh, tetap akan dikejarnya arah tembakan musuhnya tersebut, meskipun telah diperintahkan oleh Komandannya untuk berlindung. Pernah juga ketika ia mengejar musuh yang sedang gencar memberondong pasukannya, dan ia mengejar sambil balik memuntahkan peluru dari senjatanya dan peluru tersebut habis, Amji Attak bukannya berlindung, malah tetap terus mengejar dan ketika telah terlihat musuh yang memberondong tersebut langsung diserangnya dengan apa saja yang dimilikinya sehingga musuh tersebut tewas. Karena keberaniannya yang luar biasa tersebut menghantarkan pasukannya berhasil menguasai wilayah konflik. Sehingga setiap bertugas di wilayah konflik, Amji Attak selalu menjadi andalan pasukannya. Ketika terjadi Konfrontasi dengan Malaysia yang dikenal dengan “Ganyang Malaysia”, pada era pemerintahan Presiden Soekarno, pasukan Mobrig Ranger diturunkan dalam tugas tersebut. Pasukan Mobrig Ranger diturunkan dalam beberapa gelombang. Pasukan Mobrig Ranger gelombang pertama pada saat itu terdiri dari 129 orang berlayar ke Natuna. Pasukan Mobrig Ranger gelombang pertama ini diberangkatkan oleh Panglima ABRI Jenderal Ahmad Yani dari Pulau Berakit, yang sekarang namanya menjadi Batam. Ketika itu Jenderal Ahmad Yani berpesan, jika bertemu tentara dengan bekas cacar air memanjang di lengan, itu tandanya ia orang Indonesia.
Selanjutnya pada November 1964, pasukan Mobrig Ranger berlayar dari Tanjung Pinang menuju Malaysia. Dan dua perahu pasukan Mobrig Ranger berhasil masuk daratan Malaysia, namun di hutan Malaysia mereka ditangkap Patroli Inggris di Port Sehan. Kesemua anggota pasukan Mobrig Ranger yang tertangkap tersebut kemudian disidangkan di Pengadilan Kuala Lumpur, dan dimasukkan ke penjara di Johor selama 2 tahun 8 bulan.
Adapun pasukan Mobrig Ranger Amji Attak adalah Resimen Pelopor yang menyusup diam-diam ke Malaysia pada Maret 1965. Dengan tujuh perahu sekoci, mereka berangkat lewat Belakang Padang di Batam. Saat sudah dekat daratan di peisisir Malaysia, mereka mendayung. Amji Attak yang pada masa itu berpangkat Aipda dan memiliki nama sandi Muhammad ditugaskan sebagai pemimpin pasukannnya, karena ia paling diandalkan dalam mendayung perahu. Keahlian mendayungnya tersebut berasal dari tempaan alam sebagai anak Dayak di pedalaman yang dekat dengan kehidupan sungai, sehingga mendayung ini sangat mudah baginya.
Ketika pasukan Resimen Pelopor Aipda Amji Attak memasuki wilayah perairan Malaysia pada malam hari yaitu di wilayah laut China Selatan, mereka mendengar suara deru kapal besar yang mendekat. Aipda Amji Attak segera memerintahkan pasukannya untuk waspada dan menyiapkan senjata, untuk selanjutnya bergerak memanfaatkan celah diantara kapal. Aipda Amji Attak juga memberitahukan kepada anggota pasukannya bahwa yang mereka hadapi adalah kapal patroli AL Malaysia dan Kapal Perang Inggris.Tanpa gentar sedikitpun segenap anggota pasukan Aipda Amji Attak langsung mengokang senjata mereka dan melepas pengamannya. Pada saat itulah lampu kapal patroli AL Malaysia menyoroti perahu yang membawa pasukan Pelopor tersebut, yang langsung disambut dengan reaksi pasukan Pelopor dengan segera menembaki lampu sorot tersebut. Sebuah tembakan tepat mengenai seorang anggota AL Malaysia dan sesaat kemudian terjadilah kontak senjata seru ditengah laut China Selatan pada malam tersebut. Hiruk pikuk suara tembakan dari masing-masing pasukan terdengar riuh dan memekakkan telinga. Suara teriakan dan suara tubuh manusia yang tercebur ke laut ramai terdengar. Rupanya beberapa anggota Pasukan Pelopor Aipda Amji Attak dan AL Malaysia terkena tembakan. Melihat hal itu Aipda Amji Attak segera memerintahkan anak buahnya untuk menembakan pelontar granat ke arah kapal musuh.
Tembakan pertama meleset dan granat jatuh ke laut, namun tembakan kedua berakibat fatal bagi kapal patroli AL Malaysia karena tembakan pelontar granat tepat mengenai gudang amunisi kapal sehingga kapal meledak dan menimbulkan cahaya terang. Kapal patroli AL Malaysia itu mengalami kerusakan berat dan mundur dari medan pertempuran. Mundurnya patroli AL Malaysia tersebut rupanya sambil memanggil bala bantuan, karena sesaat kemudian datanglah dua lagi kapal patroli AL Malaysia dan Kapal Perang Inggris. Dengan jarak yang masih jauh sehingga memungkinkan kedua kapal tersebut menggunakan meriam untuk menghajar posisi perahu pasukan Pelopor Aipda Amji Attak. Pertempuran kedua ini berjalan tidak seimbang karena pasukan Pelopor Aipda Amji Attak yang bersenjatakan senapan ringan dan pelontar granat harus menghadapi kapal AL Malaysia dan Inggris yang bersenjatakan meriam dan senapan mesin.
Namun demikian, Aipda Amji Attak tidak memerintahkan anak buahnya untuk menyerah melainkan justru memerintahkan untuk menyerang mendekati kedua kapal tersebut. Pada saat itu Aipda Amji Attak berstrategi bahwa dalam pertempuran jarak dekat masih ada harapan bagi pasukan Pelopor yang dipimpinnya untuk selamat atau paling tidak bisa mengakibatkan kerusakan yang lebih besar bagi musuh. Selanjutnya, tembakan senapan mesin kaliber 12,7 mm dari kapal musuh segera menghantam perahu pertama dan anggota Pasukan Pelopor Aipda Amji Attak yang ada di kapal tersebut tersapu tembakan. Dua perahu lainnya masih memberikan perlawanan dengan tembakan yang sengit. Pada peristiwa tersebut, Pasukan Pelopor Amji Attak hanya bersenjatakan senjata AR 15 sehingga sulit untuk membidik musuh. Sehingga para Pasukan Pelopor hanya menggunakan nalurinya untuk menembak. Mereka hanya membidik dan menembak pada saat pelontar granat ditembakan. Namun pada jarak yang jauh pelontar granat sulit diharapkan. Akhirnya perlawanan dari dua perahu pasukan Pelopor Aipda Amji Attak ini diakhiri oleh dua buah tembakan meriam yang mengenai samping perahu. Perahu Aipda Amji Attak hancur terkena tembakan meriam dan beliau gugur di Laut China Selatan. Perlawanan sengit pasukan Pelopor Aipda Amji Attak berakhir karena hampir semua anggota Pasukan Pelopor yaitu sebanyak 33 orang gugur dalam pertempuran tersebut.
Pada tahun 1966, Kesatrian Brimob Kelapa Dua diresmikan dan nama Aipda Amji Attak diabadikan sebagai nama Kesatrian Korps Brimob Polri Kelapa Dua. Selain karena ia paling senior, juga sebagai cikal bakal Pelopor Ranger dari kompi Resimen Pelopor. Selain itu juga sebagai pahlawan Dwikora yang gugur ketika peristiwa konfrontasi Malaysia. Dimana peristiwa ini ikut andil menghantarkan Malaysia, Singapura dan Brunei merdeka. Nama Aipda Amji Attak juga diabadikan dalam bentuk patung yang berdiri gagah di gerbang Kesatrian Brimob Kelapa Dua bersama patungnya Tobaki Takuda yaitu anggota Brimob Ranger yang juga tewas dalam konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964.
Selanjutnya pada November 1964, pasukan Mobrig Ranger berlayar dari Tanjung Pinang menuju Malaysia. Dan dua perahu pasukan Mobrig Ranger berhasil masuk daratan Malaysia, namun di hutan Malaysia mereka ditangkap Patroli Inggris di Port Sehan. Kesemua anggota pasukan Mobrig Ranger yang tertangkap tersebut kemudian disidangkan di Pengadilan Kuala Lumpur, dan dimasukkan ke penjara di Johor selama 2 tahun 8 bulan.
Adapun pasukan Mobrig Ranger Amji Attak adalah Resimen Pelopor yang menyusup diam-diam ke Malaysia pada Maret 1965. Dengan tujuh perahu sekoci, mereka berangkat lewat Belakang Padang di Batam. Saat sudah dekat daratan di peisisir Malaysia, mereka mendayung. Amji Attak yang pada masa itu berpangkat Aipda dan memiliki nama sandi Muhammad ditugaskan sebagai pemimpin pasukannnya, karena ia paling diandalkan dalam mendayung perahu. Keahlian mendayungnya tersebut berasal dari tempaan alam sebagai anak Dayak di pedalaman yang dekat dengan kehidupan sungai, sehingga mendayung ini sangat mudah baginya.
Ketika pasukan Resimen Pelopor Aipda Amji Attak memasuki wilayah perairan Malaysia pada malam hari yaitu di wilayah laut China Selatan, mereka mendengar suara deru kapal besar yang mendekat. Aipda Amji Attak segera memerintahkan pasukannya untuk waspada dan menyiapkan senjata, untuk selanjutnya bergerak memanfaatkan celah diantara kapal. Aipda Amji Attak juga memberitahukan kepada anggota pasukannya bahwa yang mereka hadapi adalah kapal patroli AL Malaysia dan Kapal Perang Inggris.Tanpa gentar sedikitpun segenap anggota pasukan Aipda Amji Attak langsung mengokang senjata mereka dan melepas pengamannya. Pada saat itulah lampu kapal patroli AL Malaysia menyoroti perahu yang membawa pasukan Pelopor tersebut, yang langsung disambut dengan reaksi pasukan Pelopor dengan segera menembaki lampu sorot tersebut. Sebuah tembakan tepat mengenai seorang anggota AL Malaysia dan sesaat kemudian terjadilah kontak senjata seru ditengah laut China Selatan pada malam tersebut. Hiruk pikuk suara tembakan dari masing-masing pasukan terdengar riuh dan memekakkan telinga. Suara teriakan dan suara tubuh manusia yang tercebur ke laut ramai terdengar. Rupanya beberapa anggota Pasukan Pelopor Aipda Amji Attak dan AL Malaysia terkena tembakan. Melihat hal itu Aipda Amji Attak segera memerintahkan anak buahnya untuk menembakan pelontar granat ke arah kapal musuh.
Tembakan pertama meleset dan granat jatuh ke laut, namun tembakan kedua berakibat fatal bagi kapal patroli AL Malaysia karena tembakan pelontar granat tepat mengenai gudang amunisi kapal sehingga kapal meledak dan menimbulkan cahaya terang. Kapal patroli AL Malaysia itu mengalami kerusakan berat dan mundur dari medan pertempuran. Mundurnya patroli AL Malaysia tersebut rupanya sambil memanggil bala bantuan, karena sesaat kemudian datanglah dua lagi kapal patroli AL Malaysia dan Kapal Perang Inggris. Dengan jarak yang masih jauh sehingga memungkinkan kedua kapal tersebut menggunakan meriam untuk menghajar posisi perahu pasukan Pelopor Aipda Amji Attak. Pertempuran kedua ini berjalan tidak seimbang karena pasukan Pelopor Aipda Amji Attak yang bersenjatakan senapan ringan dan pelontar granat harus menghadapi kapal AL Malaysia dan Inggris yang bersenjatakan meriam dan senapan mesin.
Namun demikian, Aipda Amji Attak tidak memerintahkan anak buahnya untuk menyerah melainkan justru memerintahkan untuk menyerang mendekati kedua kapal tersebut. Pada saat itu Aipda Amji Attak berstrategi bahwa dalam pertempuran jarak dekat masih ada harapan bagi pasukan Pelopor yang dipimpinnya untuk selamat atau paling tidak bisa mengakibatkan kerusakan yang lebih besar bagi musuh. Selanjutnya, tembakan senapan mesin kaliber 12,7 mm dari kapal musuh segera menghantam perahu pertama dan anggota Pasukan Pelopor Aipda Amji Attak yang ada di kapal tersebut tersapu tembakan. Dua perahu lainnya masih memberikan perlawanan dengan tembakan yang sengit. Pada peristiwa tersebut, Pasukan Pelopor Amji Attak hanya bersenjatakan senjata AR 15 sehingga sulit untuk membidik musuh. Sehingga para Pasukan Pelopor hanya menggunakan nalurinya untuk menembak. Mereka hanya membidik dan menembak pada saat pelontar granat ditembakan. Namun pada jarak yang jauh pelontar granat sulit diharapkan. Akhirnya perlawanan dari dua perahu pasukan Pelopor Aipda Amji Attak ini diakhiri oleh dua buah tembakan meriam yang mengenai samping perahu. Perahu Aipda Amji Attak hancur terkena tembakan meriam dan beliau gugur di Laut China Selatan. Perlawanan sengit pasukan Pelopor Aipda Amji Attak berakhir karena hampir semua anggota Pasukan Pelopor yaitu sebanyak 33 orang gugur dalam pertempuran tersebut.
Pada tahun 1966, Kesatrian Brimob Kelapa Dua diresmikan dan nama Aipda Amji Attak diabadikan sebagai nama Kesatrian Korps Brimob Polri Kelapa Dua. Selain karena ia paling senior, juga sebagai cikal bakal Pelopor Ranger dari kompi Resimen Pelopor. Selain itu juga sebagai pahlawan Dwikora yang gugur ketika peristiwa konfrontasi Malaysia. Dimana peristiwa ini ikut andil menghantarkan Malaysia, Singapura dan Brunei merdeka. Nama Aipda Amji Attak juga diabadikan dalam bentuk patung yang berdiri gagah di gerbang Kesatrian Brimob Kelapa Dua bersama patungnya Tobaki Takuda yaitu anggota Brimob Ranger yang juga tewas dalam konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964.
Sumber : Lama Facebook Poesaka Kapoeas
SIMBOL-SIMBOL PERADABAN DAYAK PURBA
Adapun beberapa simbol Bangsa Dayak Purba yang sering ditemukan pada guratan batu-batu adalah sebagai berikut :
- Simbol Lilith atau Litih ini menggambarkan bahwa peradaban Bangsa Dayak Purba berada dibawah tanah. Dalam hal ini secara spiritual bahwa Bangsa Dayak Purba ini menghormati suatu ruh suci yang bersemayam dibawah tanah. Ruh suci ini diyakini berbentuk Naga. Biasanya kawasan yang ditemukan batu-batu bersimbol ini banyak ditemukan unsur-unsur emas karena perkembangan peradaban Bangsa Dayak Purba ini pada masa dahulu mengarah ke dalam tanah.
- Simbol Cantaka menggambarkan bahwa peradaban Bangsa Dayak Purba berada didalam air. Secara spiritual bahwa Bangsa Dayak Purba ini menghormati ruh suci yang bersemayam didalam air. Pada umumnya ruh suci tersebut diyakini berbentuk Buaya. Biasanya kawasan yang ditemukan batu-batu bersimbol ini banyak ditemukan unsur-unsur intan. Hingga sekarang masih diyakini bahwa peradaban Bangsa Dayak Purba ini masih ada dan terus berkembang didalam air.
- Simbol Zion menggambarkan bahwa peradaban Bangsa Dayak Purba berada pada sebuah Gunung atau Bukit Batu. Bangsa Dayak Purba dengan simbol seperti ini menghormati ruh suci yang diyakini bertubuh manusia dan berkepala burung. Bahkan beberapa masyarakat pedalaman meyakini bahwa kawasan yang ditemukan batu-batu bersimbol seperti ini merupakan tanda kawasan penduduk berkepala burung dengan kulitnya mirip kulit pohon kepuak. Pada umumnya, kawasan yang ditemukan batu-batu bersimbol ini akan terasa sangat mencekam, dengan suasana lembab dan sedikit terhambat untuk bernafas.
sumber : Laman Facebook Poesaka Kapoeas
70 BUMI DALAM ILMU PERBINTANGAN BANGSA DAYAK
Tersebutlah Ranying Mahatalla Langit telah menciptakan sebuah Pohon Batang Haring atau ‘Pohon Keyakinan’ yang memiliki empat cabang. Kemudian Ranying Mahatalla Langit menciptakan Cahaya dari sebuah intan putih sehingga serupa dengan Raja Burung Tinggang bermahkota emas, intan dan permata. Kemudian Ranying Mahatalla Langit meletakkan Raja Burung Tinggang di Pohon Batang Haring tersebut. Raja Burung Tinggang tersebut mengabdi kepada Ranying Mahatalla Langit selama 70 ribu tahun lamanya. Selanjutnya dari cahaya Raja Burung Tinggang tersebut, Ranying Mahatalla Langit menciptakan Cermin Kehidupan, dan diletakkan didepan Raja Burung Tinggang. Tatkala Raja Burung Tinggang melihat ke Cermin Kehidupan, terlihatlah bentuknya yang elok dan berkilau, maka malu lah ia kepada Ranying Mahatalla Langit, sehingga bercucuran keringatnya. Permulaan keringatnya menetes enam keringat yang kemudian tercipta empat ruh suci berbentuk burung, keringat kelima tercipta bunga Mawar dan keringat keenam tercipta padi. Selanjutnya bercucuran lagi keringatnya sebanyak 70 keringat dari kakinya sehingga terciptalah 70 bumi yang bertebaran di tujuh lapis langit.
sumber : Lama Facebook Poesaka Kapoeas
Tuesday, March 13, 2018
Mengingat kembali tentang masyarakat suku dayak dalam perang Majang Desa yang berperang melawan penjajah di tanah Borneo
Angkatan Perang Majang Desa terbentuk tanggal 13 Mei 1944 di Embuan Kunyil Meliau, yang permulaannya dipimpin oleh Temenggung Mandi atau Pang Dandan, yaitu seorang pemuka adat Embuan Kunyil. Angkatan Perang Majang Desa dalam kepengurusan awalnya, terdiri dari sejumlah pemuka adat, seperti Temenggung Bagok, Pang Perada atau Sayang, Mohamad Natsir, Naga, Tan Sin An, Pang Peah, Panglima Burung, Abang Syahdansyah, Menera bin Dulang atau Pang Suma, Pang Linggan atau Ajun, Agustinus Timbang, Naga, Gompang dan Pang Lapen. Angkatan Perang Majang Desa terbentuk sebagai respon perlawanan terhadap kekejaman penjajahan Jepang. Kerja paksa terjadi di mana-mana, pemerkosaan, kekejaman dan perampokan terdengar di setiap saat. Kekejaman Jepang bermula dengan dipekerjakannya secara paksa masyarakat Kalimantan Barat di Petikah yaitu daerah Hulu Sungai Bunut Kapuas Hulu, masuk Sungai Mentebah. Mereka dipekerjakan sebagai kuli untuk menggali dan mengumpulkan batu tungau yang berwarna merah dari dalam tanah dan bebatuan di pertambangan Batu Tungau. Di Petikah ini terdapat tujuh lokasi pertambangan, yaitu Petikah I, Petikah II, Petikah III, Petikah IV, Petikah V yang lokasinya di Saksara dan terdapat sumber air panasnya, Petikah VI yang lokasinya masuk Sungai Kenarin dan Petikah VII yang lokasinya di Pasinduk cabang Sungai Kenarin. Jumlah pekerja di setiap lokasi pertambangan sekitar 10.000 orang. Sehingga jumlah pekerja di pertambangan batu tungau itu seluruhnya berjumlah sekitar 70.000 orang. Para pekerja itu bukan berasal dari daerah Kapuas Hulu, melainkan dari daerah pantai dan hilir, seperti dari daerah Sambas, Singkawang, Toho, Sanggau, Sekayam, Jangkang, Sekadau, Sintang dan Melawi. Semua pekerja di pertambangan Petikah itu tidak pernah diberi upah. Mereka diberi makan nasi bercampur antah yang sangat banyak. Bahkan biasa pula diberi nasi yang dicampur dengan buah keladi. Sebagai lauknya diberi seekor ikan seukuran dua jari dan daun pakis 3 batang. Makanan yang diberikan itu sangat tidak memadai, sehingga banyak yang jatuh sakit, berak darah dan terkena demam malaria. Kalau ada yang sakit dan tidak bisa bekerja, tentara Jepang memberi obat berupa minyak tanah bercampur sabun. Kalau ada yang tidak bisa bekerja karena sakit, akan dipukuli sampai mati. Sehingga setiap hari banyak orang yang mati karena sakit, kekurangan makanan, dianiaya dan dibunuh. Yang mati dan dibunuh, mayat-mayatnya langsung dikuburkan di bekas-bekas lubang galian yang tidak dipergunakan lagi. Selain di Petikah, masyarakat Kalimantan Barat juga di pekerjakan secara paksa di Suak Garong yaitu di perusahaan kayu Jepang bernama Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisha atau SSKK di Sungai Posong anak Sungai Embuan. Mereka dipaksa bekerja dengan tidak mendapat upah dan tanpa makanan sehingga mereka bekerja dengan perut kosong. Akibat kekejaman Jepang itu maka terbentuklah Angkatan Perang Majang Desa, yang berlanjut dengan pernyataan perang masyarakat pedalaman terhadap Jepang. Pernyataan perang itu ditandai dengan dikirimnya Damak atau Petuong atau Mangkuk Merah atau yang dikenal dengan Bunga Jarao ke seluruh pelosok Kalimantan, khususnya ke pehuluan dan pedalaman mulai dari Tayan, Balai Berkuak, Kualan, Sekadau, Durian Sebatang dan terus ke wilayah Raja Ulu Aek di Laman Sengkuang Ketapang. Sebagai penyampai pengumuman perang Majang Desa terhadap Jepang ini ditugaskan kepada Panglima Kilat. Disebut Panglima Kilat karena memiliki kemampuan bergerak secepat Kilat ke seluruh pelosok pedalaman. Setelah beredarnya petuong atau mangkuk merah sebagai pernyataan perang terhadap Jepang, mulai sore itu selama seminggu datang ribuan rakyat dari berbagai tempat di pedalaman siap berperang. Rapat besar diadakan selama tiga hari di Balai Keramat Tiang Lima Bambu Kuning Suak Tiga Belas Sungai Belansai. Dalam rapat besar tersebut dihasilkan kebulatan tekad bagi semua orang Dayak dimanapun berada untuk berperang melawan Jepang.Angkatan Perang Majang Desa ini selanjutnya berhasil menguasai tangsi-tangsi militer Jepang, dan puncaknya adalah berhasil membebaskan Pontianak dari penguasaan militer Jepang pada tahun 1945.
sumber : laman facebook poesaka kapoeas
Wednesday, February 28, 2018
Penemuan Fosil Kayu Ulin yang berusia kurang lebih 2 juta tahun yang lalu di Kalimantan Timur
Baru-baru ini sebuah temuan yang sangat berharga telah menggegerkan masyarakat Kalimantan khususnya Kalimantan Timur, Bagaimana tidak menggegerkan karena telah ditemukannya sebuah Fosil yang tak ternilai harganya yaitu Fosil Kayu Ulin Berukuran Panjang 40 Meter dengan diameter 1,5 Meter. Kayu Ulin ini adalah sebuah kayu yang memliliki daya tahan yang sangat kuat dan bahkan tahan hingga ratusan tahun lamanya untuk dijadikan bahan bangunan tradisional masyarakat dayak. kayu ulin ini sendiri umumnya digunakan untuk bahan bangunan rumah panjang atau rumah betang dan juga sering dijadikan untuk bahan pembutan seni ukir pahat dalam pembuatan patung. temuan Fosil Kayu Ulin berumur 2 juta tahun ini ditemukan tepatnya di Desa Purwajaya, Kecamatan Loa Janan, Kutai Karta Negara (Kukar). temuan Fosil ini membuktikan bahwa Kalimantan adalah surganya Pohon Ulin Raksasa sekaligus daerah yang kaya akan Keanekaragaman Hayati atau sumber daya alam.
Sumber :
Instagram @INI_KALIMANTAN.ID
Saturday, February 17, 2018
Siapa yang sebenarnya hama di Hutan Kalimantan ini
Siapa yang sebenarnya hama di hutan ini, Manusia atau Hewan hutan? Pantaskah Orang Hutan dan hewan lainnya di hutan Kalimantan ini di sebut hama?, 80% Pulau Kalimantan adalah hutan dan menjadi habitnya para hewan dan 20% habitat para manusia.Terus siapakah yang di sebut hama? apakah manusia pantas membantai mereka secara membabi buta. tanpa manusia rumah mereka tidak akan hilang, hidup mereka tidak akan diakhiri jaman ketahui lah lahan yang manusia tempati adalah rumah mereka. sampai kapan kita akan terus berpangku dada dan palingkan muka terhadap rumah dan tanah mereka, 100 % hewan-hewan endemik dan primata Kalimantan akan punah dalam waktu dekat bila kita tidak membuka mata dan mempertahankan hutan kita yang kian hari makin menyempit dan makin terbabat akibat ulah keserakahan penguasa yang membutakan mata kita dengan uang. makin hari hutan kita yang dijuluki paru-paru dunia ini akan membekas diingatan kita dan tidak akan pernah terlintas dimata anak cucu kita nanti. Kalimantan hutan mu semakin runyam penghuni rimba mu semakin berkurang dan punah. terlintas pertanyaan dibenag ini, akan kah anak cucu ku nanti menikmati keasrian dan kegagahan rimba mu?
Tuesday, February 13, 2018
Tradisi Cempalek atau Pelupas, Cope, Bapusak dalam adat istiadat Dayak Kalimantan
Tradisi Cempalek atau
sering disebut dalam istilah Pelupas, Cope, dan Bapusak dalam bahasa beberapa
sub suku Dayak di Kalimantan adalah sebuah tradisi turun temurun dari nenek
moyang Suku Dayak yang masih dilakukan sampai saat ini. Cempalek adalah sebuah
tradisi dimana pada saat kita akan berpergian jauh atau ke tempat lain kita
wajib mencicipi makanan atau minuman meskipun hanya di colek dengan tangan hal
ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Jubata atau Puyang Gana Raja Juanta
(Tuhan Yang Maha Esa) karena telah diberikan rejeki yang disediakan oleh Alam.
Alasan lain tradisi Cempalek dilakukan Agar kita selalu dijauhi dari mara
bahaya dalam perjalanan kita ke suatu tempat dan dalam istilah adat istiadat
suku Dayak agar kita tidak mengalami hal yang disebut Tempunan atau Kempunan.
Tempunan atau Kempunan ini adalah sebuah bentuk kesialan yang akan kita alami
seperti sesuatu bahaya yang akan menimpa diri kita bila kita tidak melakukan
tradisi cempalek menurut aturan dalam tradisi cempalek tersebut. Meskipun
tradisi Cempalek ini masih dilakukan sampai saat ini tetapi ada sebagian
masyarakat Dayak yang sudah mulai meninggalkan dan tidak pecaya akan tradisi
Cempalek ini, dan tidak semua sub suku Dayak di Kalimantan yang mempunyai
tradisi cempalek karena ada beberapa sub suku Dayak yang tidak ada tradisi
tersebut. Oleh Karena itu mari kita sebagai orang Dayak tetap menjaga tradisi
dan adat istiadat yang telah diturunkan Nenek Moyang kita sejak dahulu agar
tradisi Cempalek ini masih dilsetraikan dan dilakukan sampai ke anak cucu kita
nanti.
Saturday, February 10, 2018
Dayak Akan Bertahan Atau Hilang?
Sebuah tulisan yang layak menjadi renungan dan intermezzo dari penggalan tulisan Halaman Facebook Pulau Dayak. Aku punya seorang adik yang tinggal di kota kabupaten. Aku dayak dari sub etnis bakati. Adik seorang notaris dan beristri dayak sub etnis Suruk. Keluarga adikku dikaruniakan 3 orang anak 1 putri dan 2 putra, Pada saat Natal 2017 aku dan keluarga berkunjung di rumah adikku. Saatnya berkumpul sengaja aku bertanya pada putri adikku,"kamu dayakapa? " sambil menggarukkan kepala dia menatap kedua orang tuanya dantidak bisa menjawab. Tanyaku lagi, " kamu dayak dan bisa bahasa dayakapa? Sekali lagi dia diam dan menatap kedua orang tuanya. Aku alih pertanyaan kepada orang tua mereka, "bahasa dayak mana yg kalian ajarkan pada mereka? Sambil menunjuk ketiga anaknya. Jawaban mereka, "kami mengajarkan bahasa Indonesia Kembali kita kepada judul tulisan ini "DAYAK BERTAHAN ATAU TIDAK?" sebagai contoh kecil pada kejadian diatas sudah pasti kita akan menyimpulkan TIDAK . Mengapa demikian? Karena kebanyakan orangdayak mulai mengajarkan bahasa yg umum yg dipergunakan masyarakat. Tahun 2016 saat kami berkunjung ke Sampit untuk mengikuti nampak tilas kerusuhan Sampit 2000. Kami juga menemukan bukti bahwa dayak akan hilang. Beberapa pemuda di kota Sampit menceritakan bahwa jauh sebelum kerusuhan Sampit mereka tidak tahu mereka adalah dayakkarena mereka pikir mereka adalah banjar (banjar juga masih berdarahdayak) hanya yg kami tekanan disini adalah dayak persubetnis bisabertahan atau tidak. Dalam hati kami lho dan kamipun bertanya,"mengapa?" Jawaban mereka bahwa orang tua mereka mengajarkan bahasa banjar untuk komunikasi sehari hari dan tidak pernah bercerita bahwa mereka adalah dayak. Pertanyaan kami lagi "apakah masih ada orang yg bisa berbahasa dayak Sampit? " ternyata hanya sedikit orang yg bisa berbahasa dayak Sampit itupun hanya orang orang tua yg sudah berumur. Perlu untuk kita ketahui bahwa di Kalteng kaltim dan beberapa daerah di pulau dayak ada beberapa bahasa dayak yg terancam punah bahkan ada yg sudah direkam untuk disimpan di museum. Dalam bahasa, adat istiadat dan budaya dayak memang sangat rentan terhadap kepunahan dan ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Sekarang marilah kita menghadirkan dayak dalam kehidupan kita sehari hari agar tidak punah dan mulailah dari komunitas kecil yaitu keluarga kita.
Sumber:
Tuesday, February 6, 2018
Ngayau tradisi perburuan kepala manusia dalam suku dayak pada masa lampau
Ngayau merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya. Suku Iban, suku mualang, Suku Kenyah dan suku dayak ngaju adalah empat dari suku Dayak yang memiliki adat Ngayau. Pada tradisi Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia dari pihak musuh. pada saat itu ngayau dilakukan oleh seorang laki-laki atau kesatria dayak, dalam peraturan adat dayak pada masa itu jika seseorang yang ingin melepas masa lajang atau ingin menikah dengan seorang wanita dalam suku dayak dia diharuskan untuk mengayau dan jika dia berhasil mendapatkan satu kepala musuh dalam perburuan ngayau yang dia lakukan maka tanggung jawab dia sebagai laki-laki dan kepala rumah tangga nantinya sudah dirasa cukup untuk mengayomi keluarganya sekaligus melindungi keluarganya dari hal-hal buruk. namun seiring dengan masuknya agama atau kepercayaan barat seperti katolik dan protestan yang disebarkan oleh para misionaris barat tradisi ngayau sudah mulai punah dan ditiadakan hal itu dibuktikan dengan dilakukannya perjanjian Tumbang Anoi. perjanjian tumbang anoi sendiri dilaksanakan pada masa kolonial belanda sekitar tahun 1847-an(perkiraan) dalam perjanjian-perjanjian tersebut kepala suku dayak kahayan mengumpulkan kepala sub suku dayak yang ada dikalimantan untuk melakukan musyawarah damai dan meniadakan tradisi ngayau, dalam perjanjian tersebut juga jika ada salah satu sub suku dayak yang melanggar akan dikenakan sangsi adat.
Tidak semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau. Seperti halnya Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada istilah Ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang kepala pimpinan musuh yang dijadikan target sasaran mereka. Apabila kepala pimpinannya berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera bertekuk lutut. Kepala pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap ritual-ritual adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban, Mualang, dan Ngaju, kepala tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak Meratus dan Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.
sumber:
Monday, February 5, 2018
Latar belakang Tari Ajat Temuai Datai atau tarian peyambutan tamu dalam adat suku dayak
"Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic
Group), yang tidak dapat diartikan secara langsung, karna terdapat kejanggalan
jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya Ajat adalah Persembahan atau
Permohonan dengan menggelar ritual atau Upacara adat, kemudian Temuai artinya:
tamu, Datai artinya: Datang. Jika disesuaikan dengan maksud tarian yaitu: Tari
yang didalamnya terdapat Upacara Adat dalam prosesi menyambut tamu atau Tari
Menyambut tamu. bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung
(diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan/masa lampau, di
antara kelompok- kelompok suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me dan Ngayau.
Me berarti melakukan aksi, Ngayau: pemenggalan kepala musuh, tindakan
memenggal kepala musuh (Mengayau terdapat dalam bahasa Dayak Iban dan Ibanik,
juga pada masyarakat Dayak pada umumnya). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni
suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan
memenggal kepala lawannya (mengayau terdiri dari berbagai macam adatnya di
antaranya Kayau banyau/ramai/serang, Kayau Anak yaitu: Mengayau dalam kelompok
kecil, Kayau Beguyap yaitu: Mengayau tidak lebih dari tiga orang. Pada
masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari
pengayauan dan membawa bukti hasil Kayau berupa kepala manusia (musuh),
merupakan tamu yang diagungkan serta dianggap sebagai seorang yang mampu
menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat
Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan
suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi si empunya dan
sukunya.
Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat
Istiadat Kalimantan Barat 1974), ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk
melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam,
dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil
dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi
dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang disebut Nyelaing
(teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih!, sebanyak tujuh kali yang berarti
pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang
masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan
menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya
sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan
penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau
mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar
mempersiapkan acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui empat babak
yakni:
- Ngunsai Beras (menghamburkan beberapa beras di depan para Bujang Berani/Ksatria/Pahlawan, sambil membacakan doa melalui perantaraan Sengalang Burong),
- Mancong Buloh yaitu; Menebaskan Mandau/Nyabor untuk memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau di empang di pintu masuk wilayah rumah panjai.
- Ngajat Ngiring Temuai: menari mengiringi tamu ataupun memandu tamu sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan Ngajat Ngiring Temuai.
- Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai) atau masuk ke tempat tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu di dalam sebuah wadah sebagai simbol pencelap semengat , setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diizinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Semengat (mengembalikan semangat perang) (john Roberto P. 2002.ISI yogyakarta), kemudian baru diadakan Gawai pala' acara ini untuk menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian yang disebut: Tari Ayun Pala, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa Panglima / Tuwak Dayak Mualang masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau (pemimpin Kayau), Tuwak Pangkar Begili (Tidak Pernah Mund).
Sumber :
https//: Wikipedia.org.id/
https//: Wikipedia.org.id/
Sunday, February 4, 2018
Tampun Juah Cerita rakyat Dayak Mualang
Tampun Juah merupakan tempat
pertemuan dan gabungan bangsa Dayak yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic
group. Sebelum di Tampun Juah masyarakat Pangau Banyau tersebar dan hidup di
daerah sekitar bukit kujau’ dan bukit Ayau, kira-kira di daerah Kapuas Hulu,
kemudian pindah ke Air berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang kuning dan Tampun
Juah, dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain di mungkinkan ada
yang berpisah dan membentuk suku atau kelompok lainnya.
Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan mencapai zaman Eksistensi atau keemasan, dalam tiga puluh buah bilik Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka hidup aman, damai dan harmonis. Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan di sungai.
Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan mencapai zaman Eksistensi atau keemasan, dalam tiga puluh buah bilik Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka hidup aman, damai dan harmonis. Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan di sungai.
Sumber:
Thursday, February 1, 2018
Buah Leci hutan dari hutan borneo
Buah leci hutan atau sering
dikenal sebagian masyarakat dayak dengan sebutan buah empringat adalah salah
satu buah yang tanamannya tumbuh liar dihutan borneo. Bentuknya yang seklias
hampir mirip dengan buah leci pada umumnya menjadi salah satu alasan mengapa
buah yang tumbuh liar ini disebut sebagai leci hutan. Ciri khas dari buah ini
adalah tumbuhan atau tanamanya berupa akar yang merambat ditanah hingga
semak-semak dan memliliki duri disetiap akar sampai tangkai buahnya. pada umunya tanaman
buah leci hutan
ini banyak tumbuh dihutan rawa serta tropis, bentuk dari buah
leci ini berbentuk buah kecil yang berwarna merah dan membentuk tangkai atau
tandah buah kecil. Rasa dari buah ini sedikit asam dan agak manis oleh karena
itu buah ini sangat digemari sebagian masyarakat untuk dikonsumsi, tidak hanya
mansuia saja selain itu buah leci hutan ini juga sangat digemari burung punai
untuk dimakan buahnya.
Buah Kubal Buah yang tumbuh liar dihutan buah khas hutan Kalimantan
Buah Kubal adalah salah satu jenis buah yang banyak tumbuh liar
di alam hutan Kalimantan, ciri Khas dari buah ini sendiri adalah pohon-nya berbentuk
akar yang menjulur serta merambat panjang ke atas dan akarnya selalu menjulur
meliliti pohon yang ada disekitarnya. Umumnya Warna dari buah kubal ini
berbentuk orange dan isinya juga berwarna orange ketika masak, daerah yang
ditumbuhi oleh tumbuhan liar ini sebagian besar hutan tropis yang berada
di wilayah Kalimantan khususnya Kalimantan barat hingga Sarawak Malaysia.
Buah kubal ini sendiri banyak digemari oleh masyarakat umunya masyarakat dayak karena rasanya yang khas dan manis. Ada beberapa jenis dari buah kubal ini sendiri antara lain adalah kubal susu dan kubal arang dalam bahasa dayak. Tumbuhan kubal ini sendiri berbuah secara musiman dan berbuah pada saat musim buah.
Buah kubal ini sendiri banyak digemari oleh masyarakat umunya masyarakat dayak karena rasanya yang khas dan manis. Ada beberapa jenis dari buah kubal ini sendiri antara lain adalah kubal susu dan kubal arang dalam bahasa dayak. Tumbuhan kubal ini sendiri berbuah secara musiman dan berbuah pada saat musim buah.
sumber:
Wednesday, January 31, 2018
Dayak Iban
Suku Iban atau Suku Dayak Iban, adalah salah sub suku yang tergabung dalam etnic ibanic grub dan satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Sarawak,Brunei dan Tawau Sabah. Mengikut sejarah lisan, pembentukan dan perkembangan budaya sosial Suku Iban terjadi semasa di Tampun Juah, sebelum berpecah kepada beberapa subsuku-subsuku yang ada sekarang. Selama masa kolonial Inggris dan Belanda, kelompok Dayak Iban sebelumnya dikenal sebagai Dayak Laut dalam pengertian bahasa Iban bermaksud Melayu. Fakta ini disokong kerana bahasa Iban adalah bahasa yang paling dekat dengan bahasa Melayu.(bahasa Inggris:Sea Dayak).
Legenda Orang Buah Kana dalam cerita dayak mualang
Di masa itu kehidupan manusia dan para
Dewa serta mahluk halus, sama seperti hubungan antara manusia yang satu dengan
yang lainnya, termasuklah hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara
masyarakat Tampun Juah dengan Orang Buah Kana ( Dewa pujaan ). Karena kejayaan
masyarakat Tampun Juah sangat terkenal dan didengar oleh segala bangsa dan
beberapa kerajaan, di suatu ketika sampailah berita itu ke kerajaan Sukadana
(terletak di Kabupaten Ketapang). Kerajaan Sukadana merasa kuatir mendengar
kejayaan dan semakin kuatnya persatuan masyarakat di Tampun Juah. Hal ini
mendapat tanggapan yang negatif dan ditindak lanjuti dengan menyatakan perang
terhadap Masyarakat Pangau Banyau / Sak Menua, yang lambat-laun menyebabkan
Tampun Juah diserang oleh kerajaan Sukadana. Kerajaan Sukadana saat itu
merupakan koloni dari Kerajaan Majapahit ( jawa hindu ), mereka mempunyai bala
tentara yang tangguh dan sakti dari suku Dayak Beaju”/ Miajuk, Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah. Mereka mengadakan ekspansi militer dari daerah
Labai lawai ( sekarang Tamabak Rawang) Sukadana, masuk dan menyusuri sungai
kapuas sampai ke teluk air daerah batu ampar menuju Tayan Sanggau, dan masuk
sungai Sekayam dan terus ke hulunya, mengadakan penyerangan ke Tampun Juah.
Dalam peperangan ini laskar dari Tampun Juah dengan gigih dan gagah berani
berjuang melawan pasukan musuh dalam membela kedamaian di Tampun Juah, hingga
menyebabkan musuh kalah dan dapat di usir. Perang yang pertama dikenal dengan
nama Perang Sumpit, karena pada perang ini pasukan Tampun Juah dan pasukan
lawan menggunakan sumpit yang pelurunya sangat beracun diberi ipuh (racun dari
pohon tertentu).
Tampun Juah kembali aman dan damai, tetapi tidak berlansung lama karena
pihak musuh yang kalah mengajak (melalui kesaktiannya) dan memengaruhi bangsa
mahluk halus ( Setan ) secara magis, menyerang Tampun Juah. Perang kedua tak
bisa dihindarkan, dengan semangat yang membara masyarakat Pangau banyau,
berusaha mati-matian mempertahankan wilayahnya dari serangan mahluk halus, dan
akhirnya dalam peperangan ini bangsa setan dapat juga dikalahkan.
Tampun Juah untuk sementara waktu berangsur damai ternyata pihak musuh yang
kalah berperang, masih belum puas, mereka berusaha menggunakan segala cara, dan
dengan kesaktian yang mereka miliki, mereka memengaruhi bangsa binatang agar
menyerang Tampun Juah. Peperangan yang ketiga akhirnya terjadi, sama halnya
dengan peperangan terdahulunya, bangsa binatang juga dapat dikalahkan. Karena
masih kurang puas maka musuh pun mencari cara yang lain lagi yakni, dengan
menanam berbagai jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat
Tampun Juah, Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Tampun Juah yang keracunan,
tetapi keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan
lainnya. Setelah sembuh racun kulat itu ternyata berdampak pada perubahan
intonasi bahasa, logat dan pengucapan bahasa komunikasi yang menjadi bahasa
keseharian. Hal ini menyebabkan timbulnya kelompok- kelompok bahasa yang
berbeda logat maupun pengucapan ( ingat menara babel dalam perjanjian lama
kitab suci umat kristiani ) walaupun masih dimengerti / serumpun. ( Ibanic
Group ).
Melihat perpecahan bahasa tersebut, pihak musuh memandang hal ini merupakan
suatu celah kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide, untuk mengalahkan
masyarakat Tampun Juah. Pihak musuh tahu bahwa untuk merebut dan mengalahkan
Tampun Juah tidak mampu melalui perang, melainkan dengan mengotori Tampun Juah.
Pada saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat Tampun
Juah menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh bangsa setan, sekali lagi
mereka mengirimkan sihirnya yakni dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan
sehari-hari, tempat tinggal dan perabotan makan dengan Tahi. Karena
terus-menerus muncul dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama,
akhirnya masyarakat Tampun Juah strees, panik dan tidak tahan lagi, menyebabkan
gemparlah Tampun Juah.
Menyikapi hal itu maka para temenggung berkumpul untuk memecahkan
permasalahan ini. Pekat Banyau (musyawarah) dilakukan dan dari hasil pekat,
(musyawarah ) diambilah keputusan untuk meninggalkan Tampun Juah secara
berangsur -angsur. Proses keberangkatan dipimpin oleh masing – masing
temenggung dan yang berangkat dahulu, harus membuat lujok (tunggul kayu) atau
tanda pada setiap tempat yang dijalani kelompoknya, agar diikuti oleh kelompok
belakangnya dengan perjanjian: “jika kelak menemukan tempat yang subur, enak
dan cocok nanti, mereka berkumpul lagi dan membina kehidupan seperti masa di
Tampun Juah.3 Setelah selesai bepekat (musyawarah) maka diputuskanlah siapa
yang berangkat terlebih dahulu. Orang Buah Kana (Dewa Pujaan), kembali ke
khayangan, selanjutnya kelompok pertama masyarakat Pangau Banyau yang berangkat
adalah:
- Kelompok yang kini di sebut Dayak Batang Lupar / Iban, berangkat menyusuri sungai sai, tembus ke muara sungai ketungau sampai ke Batang Lupar, Kapuas hulu. ( kisah ini dituturkan sama dan diakui oleh kelompok Dayak Iban dari Sadong, Serawak, Malaysia). Dalam pengembaraannya, dan sesudah sampai di Batang Lupar, kelompok ini kemudian terpecah dan membentuk kelompok – kelompok atau sub- sub Ibanic ( Kantuk, Undup, Gaat, Saribas, Sebuyau, Sebaruk, Skrang, Balau ) dan lain-lain yang juga menyebar dan mencari tanah dan kehidupan baru.
- Kelompok Ketungau. Menyusuri aliran Sungai Sai, terus masuk sungai ketungau, dan menetap disana di sepanjang sungai ketungau dan membentuk kelompok-kelompok kecil diantaranya: Bugao, Banyur, Tabun dll.
- Kelompok Mualang. Kelompok ini adalah kelompok yang bertahan terakhir di Tampun Juah, hal ini karena pada waktu itu kelompok ini ada pantangan pergi karena ada salah seorang yang melahirkan, setelah sekian lama kemudian kelompok ini menyusul kelompok keduanya dengan menyusuri Sungai Sai, sampai di muara sungai ketungau. Kelompok ini di pimpin oleh: Guyau Temenggung Budi, mereka membawa seorang pengawal / manok sabung / Letnan yang terkenal di zamannya bernama Mualang. Dalam perjalanannya menyusuri sungai ketungau, rombongan Guyau Temenggung Budi tersesat, hal ini dikarenakan adanya banjir yang menyebabkan tanda ( lujok ) yang dibuat pendahulunya berubah arah di terpa arus banjir, setelah sampai dimuara sungai ketungau. Hal ini menyebabkan mereka menghentikan perjalanannya untuk sekian lama. Sejalan dengan itu pengawal rombongan ( manok sabung ) bernama; Mualang meninggal dunia ditempat itu, ia dikubur disebelah kanan mudik sungai ketungau. Mualang diabadikan untuk menyebut nama anak sungai tersebut menjadi sungai Mualang dan rombongan Guyau temenggung budi mengabadikan nama kelompok yang dipimpinnya tersebut dengan nama Orang Mualang, yang berasal dari sungai Mualang dan lambat laun oleh penerusnya disebut dengan nama Dayak Mualang.
- Setelah berkabung, mereka memutuskan menetap di sungai Mualang untuk beberapa lama. Suatu hari ketika sedang mencari ikan menyusuri sungai Mualang, mereka menemukan sebuah lubuk ( teluk yang dalam ) yang banyak ikannya, kemudian berita gembira ini disampaikan ke segenap kelompok orang Mualang lainnya dan akhirnya mereka beramai – ramai mengambil ikan dilubuk tersebut.Setelah mendapatkan ikan yang banyak, segala dayung dan peralatan cari ikan lainnya mereka tenggelamkan dilubuk itu, dan lubuk itu mereka sebut dengan nama lubuk Sedayung. Selain mencari ikan mereka juga kerap kali berburu disekitar hutan sampai jauh masuk ke segala arah. Pada suatu ketika disaat sedang berburu, mereka (orang Mualang), menemukan pemburu lainnya yang mempunyai bahasa sama dengan rombongan orang Mualang, tetapi bukan dari rombongan maupun komunitas mereka. Orang tersebut mengaku berasal dari Tanah Tabo.” Berita ini kemudian di sampaikan kepada pimpinan orang Mualang, yakni; Guyau temenggung Budi yang akhirnya membawa seluruh orang – orang Mualang yang dipimpinnya untuk bergabung dengan masyarakat di Tanah Tabo”. Hingga dibatalkanlah rencana untuk mencari rombongan terdahulunya.
Penduduk Tanah Tabo'
Penduduk di Tanah Tabo’ merupakan keturunan dari keseka” Busong. Keseka”
Busong kawin dengan Dara jantung, anak Petara Seniba (Dewa di khayangan), Dara
jantung dihulurkan oleh Petara Seniba (ayahnya) menggunakan tali Tabo”Tengang
(akar kayu) Bekarong Betung ( diselimuti bamboo betung ) anak dari keseka”
Busong dan Dara jantung adalah Bujang Panjang, yang kawin mali ( terlarang )
dengan Dayang Kaman Dara Remia ( bibinya atau adik ibunya) di khayangan yang
menyebabkan kakeknya (Petara Seniba) murka, dan mengusir bujang panjang kebumi
tempat ayahnya berada yakni keseka” Busong. Anak hasil kawin mali mereka,
menjadi berbagai macam hama padi dan lolos menyebar kebumi.
Sumber
https://id.wikipedia.org/